A. Pengertian Pendidikan Islam dan moral bangsa
Prof. Dr. Omar Muhammad At-Toumi
Asy- Syaibany mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah
laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan
cara pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan sebagai profesi diantara
profesi- profesi asasi dalam masyarakat.
Pendidikan dalam pandangan yang
sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seorang dapat
mengarah kehidupannya sesuai dengan cita- cita Islam, sehingga dengan mudah ia
dapat membentuk kehidupan sesuai dengan ajaran Islam.
Pengertian itu mengacu pada
perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip- prinsip
Islami yang diamanahkan oleh Allah S.W.T kepada manusia, sehingga manusia mampu
memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan iptek.
Dari beberapa pengertian tersebut dikatakan
bahwa pendidikan islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan
pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup
dalam segala aspeknya.
Secara sederhana pendidikan islam
dapat di artikan sebagai pendidikan yang dasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam
sebagai tercantum dalam al-Quran dan al-Hadis serta dalam pemikiran para ulamak
dan dalam praktek sejarah ummat Islam. Berbagai komponen dalam pendidikan mulai
dari dan evaluasi pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam.
Jika berbagai komponen tersebut satu dan lainnya membentuk suatu sistem
tersebut selanjutnya dapat disebut sebagai sistem pendidikan islam.[2]
Pendidikan islam adalah pendidikan
yang segala komponennya mengacu pada konsep-konsep islam dan mampu
mempraktekkan ajaran- ajaran islam tentang pendidikan.
Dalam islam moral sering diterjemahkan dengan akhlak.
Murtada muthohari mengatakan bahwa akhlak mengacu kepada suatu perbuatan yang
bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai daripada perbuatan
alami manusia.
Pengertian moral menurut ibnu maskawaih adalah suatu
perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan
pertimbangan dalam melakukannya.[3]
Sedangkan pendidikan moral ditunjukan untuk melindungi manusia dari perbuatan
buruk yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada baik dalam masyarakat,
bangsa, dan bernegara. Dalam kurun decade ini, bangasa bangsa Indonesia
mengalami kemunduran yang sangat hebat, di tandai dengan tingginya angka freesex
atau sex bebas di kalangan remaja, sering terjadi bentrokan antara warga, antar
pelajar, mahasiswa dengan aparat, dan lainya yang biasanya didasari masalah
sepele.
Gejala kemerosotan moral dewasa ini sudah benar-benar
sangat memghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong dan
kasih sayang sudah tutup oleh penyelewengan, menipuan, penindasan, saling
menjegal dan saling merugikan. Banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat,
menipu, mengambil hak orang lain sesuka hati, dan perbuatan maksiat lainya.
Kemerosotan moral yang demikian itu lebih mengkhawatirkan
lagi, karena bukan hanya menimpa kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan,
kedududkan dan profesi, melainkan juga telah menimpa pada pelajar tunas-tunas
muda yang diharapkan dapat melanjutkan perjuangan membela kebenaran, keadilan
dan perdamaian masa depan. Belakangan ini kita banyak mendengar keluhan orang
tua, ahli didik dan orang-orang yang berkecipungan dalam bidang agama dan
sosial, berkenaan dengan perilaku remaja yang sukar di kendalikan, nakal, keras
kepala, berbuat keonaran, maksiat, tawuran mabuk-mabukan, pesta obat-obatan
terlarang, bahkan melakukan pembajakan, pemerkosaan pembunuhan dan tingkah laku
menyimpang yang lainnya.
Pendidikan
agama dan pendidikan moral mendapatkan tempat yang wajar dan leluasa dalam
system pendidikan nasional Indonesia. Dengan demikian, pendidikan agama berkait
dengan pembinaan sikap mental spiritual yang selanjutnya dapat mendasari
tingkah laku manusia dalam bidang kehidupan. Pendidikan agama tidak lepas dari
upaya menanam kan upaya menanamkan nilai-nilai serta unsure agama pada jiwa
sesseorang. Unsure-unsur agama tersebut secara umum ada empat
1.
Keyakinan atu kepercayaan terhadap
adanya atau kekuatan gaib tempat berlindung dan memohon pertolongan.
2. Melakukan
hubungan yang sebaik-baiknya dengan tuhan guna mencapai kesejahteraan hidup di
dunia dan akhirat .
3.
Mencintai dan melaksanakan perintah
tuhan, serta menjauhi larangan-Nya, dengan jalan beribadah yang
setulus-tulusnya, dan meninggalkan segala hal yang diizinkan-Nya.
4.
Menyakini adanya hal-hal yang dianggap
suci dan sacral, seperti kitap suci, tempat ibadah dan lainya
Adapun moral ialah kelakuan yang
sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati
bukan paksaan dari luar, yang disertai pola rasa tanggung jawab atas kelakuan
(tindakan) tersebut.
Dalam
Islam moral merupakan terjemahan dari kata akhlak. Dikalangan para ulama
terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud dengan akhlak. Murtada
muthahari misalnya mengatakan bahwa akhlak mengacu kepada suatu perbuatan yang
bersifat kemanusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar
perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya.
Selanjutnya
jika pengertian agama dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainya tampak
saling berkaitan dengan erat. Tentang eratnya hubungan agama dan moral sangat
penting bahkan yang terpenting, dimana kejujuran, kebenaran, keadilan dan
pengapdian adalah di antara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.
Terlihat
denagn jelas bahwa pendididkan agama dan moral memiliki hubungan yang erat.
Tingkah laku moral yang baik antara lain dapat ditimbulkan melalui penanaman
nilai-nilai pendidikan agama. Di akui bahwa untuk menumbuhkan moral yang baik
dapat pula diperoleh dari hasil penalaran manusia (rasio). Namun, moral yang
baik akan lebih kokoh jika didasari pada nilai-nilai agama yang bersumber dari
wahyu. Hal ini yang demikian dapat dopahami karena nilai-nilai moral yang
berdasarkan agama (wahyu) memiliki nilai eskatologis, yakni sanksi pahala di
akhirat.
B. Strategi
pendidikan agama dan moral pada era global
Secara harfiah global berarti sedunia,
sejagat, kata ini selanjutnya menjadi istilah yang merujuk kepada suatu keadaan
dimana antar suatu Negara dengan Negara lain sudah menyatu. Batas-batas
territorial, kultural, dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatanlagi untuk
melakukan penyatuan tersebut. Situs ini tercipta berkat adanya dukungan
teknologi canggih di bidang komunikasi.
Munculnya
situasi global tersebut disamping menimbulkan dampak positif, yaitu semakin
mudanya mendapatkan informasi dalam waktu sigkat, juga menimbulkan dampak
nrgatif, yaitu mana kala informasi yang dimuat dalam berbagai peralatan komunukasi
tersebut adalah informasi yang merusak moral. Pola budaya hubungan serba bebas
antara lawan jenis, model pakaian yang tidak mengindahkan batas-batas aurat,
gambar-gambar porno dan sebagainya dapat dengan mudah di jumpai melalui
berbagai peralatan teknologi tersebut, dan keberadaannya sudah sangat sulit
dikontrol.berbagai peralatan tealah seamakin membuka peluang atau menambah subur
bagi terciptanya maoral yang buruk. Hal yang demikian dirasakan lebih menarik
bagi kalangan generasi muda yang serba ingin tahu.
Masyarakat
sekarang yang tinggal di era global sudah tidak bisa menyembunyikan dirinay
lagi dari perubahan zaman. Adpun langkah-langkah
Pertama,
pendidikan moral agama dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaa pendidikan
agama, karena sebagai mana telah diuraikan diatas, bahwa nilai-nilai dan ajaran
agama pada akhirnya ditunjukan untuk membentuk moral yang baik.
Kedua, pendidikan agama yang dapat
menghasilkan perbaikan moral harus dirubah dari model pengajaran agam akepada
pendidikan agama. Pengajaran agama dapat berarti mengalihkan pengetahuan agama
atau mengisi anak dengan pengetahuan agama, sedangkan pendidikan agama dapat
berarti membina dan mewujudkan perilaku manusia yang sesuai dengan tuntutan
agama, sedangkan pendidikan agama dapat dilakuakn dengan membiyasakan anak
berbuat baik dan sopan santun santun dengan berbagai hal mulai dari kecil
sampai dewasa.
Ketiga,
pendidikan moral, dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat
integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan
moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat
pada pelajaran bahasa, logika, matematika, fisika, biologi, sejarah dan
sebagainya. pelajaran bahasa misalnya melatih dan mendidik manusia agar
berbicara yang lurus.
Keempat, sejarah dengan
cara yang ketiga tersebut di atas, pendidikan moral harus melibatkan seluruh
guru, pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama seperti
yang selama ini ditekankan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
Kelima,
pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan
usaha sungguh-sungguh dari keluarga/rumah tamgga, sekolah dan masyarakat.
Keenam,
pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, sebagai sarana
termasuk teknologi moderen. Kesempatan berekreasi, pameran, kunjungan, berkemah
dan sebagainya harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral. Demikian
seperti sarana masjid, mushala, lembaga-lembaga pendidikan.
Secara terminologi antara etika,
moral dan budaya dapat dibedakan.Istilah etika mengacu kepada aturan normatif
tentang baik dan buruk yang bersumber pada pemikiran rasional yang jernih.
Sedangkan istilah moral terkait
dengan upaya menjujung tinggi nilai-nilai ideal yang universal seperti kemanusiaan,
kejujuran, keadilan, kesederajatan dan nilai sebagainya. selanjutnya kebudayaan
dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batil (akal budi) manusia
yang dapat mengambil bentuk kepercayaan , kesenian, adat istiadat. Selain itu
kebudayaan dapat pula diartikan kegiatan (usaha), batin (akal dan sebagainya)
untuk menciptakan sesuatu yang merupakan hasil kebudayaan.
Dengan
memperhatikan batasan pengertian tersebut tampak jelas bahwa antara etika,
moral dan budaya hakikatnya satu, yaitu sebagai produk daya cipta, rasa dan
karya manusia. Ketiganya dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Di dalam
kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat
dan sebagainya. Kebudayaan yang
didalamnya mencakup etika, moral dan budaya itu selanjutnya dapat digunakan
sebagai kerangka acuan, Oleh seseorang menjawab berbagai masalah yang
digadapinya. Dengan demikian kebudayaan akan tampil sebagai pranata yang secara
terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasiselanjutnya yang
diwarisi kebuyaan tersebut. Berbeda dengan
kebudayaan sebagaimana tersebut diatas, kaidah agama sebagai nilai-nilai luhur
yang bersal dari Tuhan yang diturunkan melalui wahyu-Nya. Namun demikian tidak
berarti atara agama dan kebudayaan saling bertentangan, melainkan bisa saja
antara keduanaya saling bertemu dan saling bersinggungan. Salah seorang filosof
muslim, Ibn Rusyd (520m/1126), termasuk di anatara yang melihat antara agama
dan kebudayaan (produk akal) tidak saling bertentanagan. Hal ini didasarkan
pada alasan, karena agama yang bersumber pada wanyu berasal dari Tuhan.
Demikian pula produk akal seperti filsafat dan kebudayaan yang bersumber pada
akal juga berasal dari tuhan, karena akal adalah cipta-Nya. Oleh kareana sebaba
itu di anatar keduanaya tidak mungkin terjadi pertentanagan. Dan jika
lahiriahnya kelihatan atara pendapat akal denga wahyu bertentangan, maka pada
hakikatnya tidak bertentangan. Yang bertentanagan adalah hasil penafsiranaya
manusia terhadap wanyu tersebut, perlu dialakuakan upaya membersihkan jiwa dan
berkomunikasi secara spiritual denga Tuhan secara terus menerus.
Kebudayaan yanag
demikian itu sealanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang
terdapat dalam dataran empiriknya, atau agama yang tampil dalam bentuk formal
yang menggejala dalam masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat
tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wanyu melalui
penalaran. Kita misalnya membaca kitap fikih (hukum islam), maka figih yang
merupakan pelaksanaan dari nash al-quran maupu hadis sudah melibat unsur
penalaran dan kemaupun kemanusiaan. Dengan demikian agama menjadi membudaya
atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya
yang demikian itu berkait dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat
tempat agama itu berkembang. Denagn melalui pemahaman terhadap kebudayaan
tersebut, seseorang dapat menggelamkan ajaran agamanya.
D. Peran Etika, Moral, Budaya dan Kaidah Agama Sebagai Perekat Persatuan dan
Kesatuan Bangsa
Etika, moral, budaya kaidah agama
memiliki peran banyak dalam bimbingan masyarakat menuju terbentuknya masyarakat
yang sejahtera lahir dan batin, termasuk dalam menciptakan persatuan dan
kesatuan bangsa. Hal ini secara singkat dapat di kemukakan sebagai tersebut.
Pertama, teori etika
yang dibangun berdasarkan pada potensi psikologis yang terdapat dalam diri
manusia, yakni akal, nafsu amarah dan nafsu biologis. Etika yang baik akan
mumcul apa bila semua potensi psikologis tersebut digunakan secara pertengahan.
Akan digunakan secara seimbang dan didasarkan pada petunjuk agama akan
menghasilkan hikamah. Nafsu amarah yang digunakan secara pertengahan
menghasilkan sikap ksatria. Dan nafsu biologis yang digunakan secara
pertengahan akan mengalami sikap iffab ( terpelihara dari perbuatan
maksiat) sebaliknya akalyang digunakan secar aberlebihan akan menghasilakan
seorang yang pintar keblinger, dan jika terlalu lemah akan menghasilkan keadaan
idiot. Selanjutnya hawa nafsu yang digunakan secara berlebihan akan sikap yang
menghantam kromo dan membabi buta, dan jika nafsu yang digunakan terlalu lemah
akan menghasilkan sikap yang pengecut. Demikian inti dari timbulnya sikap etis
adalah pengendali diri.
Kedua, dalam bidang
moral, menarik sekali apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa inti dari
ajaran moral bertumpu pada upaya menjalani hubungan yang baik atara manusia
dengan Tuhan dan manusia dengan manusia lainya. Moral menurutnya terkait dengan
upaya menjujung tinggi nilai-nilai luhur yang dihormati oleh manusia, dan akan
menjaga keutuhan manusia, seperti keadilan, kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan
dan lain sebagainya. Dengan demikian terlihat jelas bahwa moral yang diterapkan
secara konsisten akan dapat mendukung terciptanya persatuan dan kesatuan
bangsa.
Ketiga,dalam bidang
kebudayaan, sebagai mana telah disebutkan di atas, ternyata erat sekali
hungananya dengan nilai-nilai agama. Khususnya kebudayaan yang berkembang di
indonesia erat sekali hubungannya dengan nilai-nilai agama. Dengan demikian
pengalama kebudayaan secara konsekuen akan menghasilkan persatuan dan kesatuan
bangsa, seperti kebudayaan gotong royong, saling menolong, saling menghormati
dan lain sebagainya.
Dengan demikian,
ukhuwal Islamiyanya lebih menggambarkan ukhuwal yang didasarkan pada
nilai-nilai ajaran isalam, yaitu agama yang bukan hanya menghormati makhluk
Tuhan yang bernama manusia, melaikan juga makhluk tuhan lainya, kecualai
syaitan.
E. Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Sejarah islam
Sejarah isalam
sebagian terdapat dalam al-Quran dan Hadis, khususnya yang berkenaan dengan
konsep persatuan dan kesatuan sebagaimana tersebut di atas tampak demikian
ideal. Namun praktek persatuan dan kesatuan sebagai mana terlihat dalam sejarah
Islam, tidak selamaya menunjukan keadaan sebagaimana yang ditunjukan yang di
atasa. Konsep persatuan dan kesatuan dalam konteks ukhuluah Islamiyah telibat
secara dominan pada masa rosulullah sebagai Nabi dan pemimpin ummat. Namun
setelah zaman beliau, mulai dari zaman khulafah al-Rasyidin sampai dengan
sekarang, persatuan dan kesatuan ummat secara jujur harus berani dikatakan bahwa
dalam prakteknya ummat Islam lebih banyak tidak bersatu dari pada bersatu. Dan
sekalipun terlibat bersatu, namun terkadang bersifat semu dan sesat.
F. Urgensi pendidikan akhlak bagi remaja
Pendidikan akhlak
bagi para remaja amat urgen untuk dilakukan dan tidak dapat dipandang ringan.
Denga terbinanya akhlak para remaja ini berarti kita telah memberikan sumbngan
yang besar bagi penyiapan masa depan bangsa yang lebih baik. Sebaliknya jika
kita membiyarkan para remaja terjerumus kedalam perbuatan yang tersesat,
berarti kita telah membiyarkan bangsa dan negara ini terjerumus ke jurang
kehancuran. Pembinaan para remaja juga berguna baik bagi remaja yang
bersangkutan, karena dengan cara demikian masa depan kehidupan mereka akan
penuh harapan yang menjanjikan. Dengan terbinanya akhlak para remaja keadaan
lingkungan sosial juga semakin baik, aman, tertib dan tentram, yang
memungkinkan masyarakat akan merasa nyaman. Baebagai gangguan lingkungan yang
diakibatkan ulah sebagai para remaja sebaimana disebutkan di atas dengan
sendirinya akan lenyap. Menyadari akan hal yang demikian, maka berbagai
prtunjuk al-Quran dan Hadis tentang pembinaan remaja patut kita renungkan dan
kita amalkan. Petunjuk tersebut misalnya dengan memberikan contoh dan teladan
berupa tutur kata dan perbuatan yang baik. Membiyasakan membaca al-Quran, tekun
mengerjakan sholat lima waktu, berpakaian yang sopan, makan minum yang halal
dan baik, bergaul dengan sesama orang baik serta menjauhi perbuatan yang buruk,
menolong orang-orang yang berada dalam kesusahan dan lain sebagainya. petunjuk
tersebut kiranya dapat dipegang teguh dan dilaksanakan secara konsekuen. Dengan
cara demikian akhlak para remaja akan terbina dengan baik.
G. Peran pendidikan dalam mengatasi krisis akhlak
Krisis akhlak
semula hanya menerpa sebagian kecil elitis politik (penguasa), kini telah
menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar. Krisis politik pada
kaum elitis politik terlihat dengan adanya penyelewengan, penindasan, saling menjegal,
adu domba, fitnah, menjilat dan sebagainya yang mereka lakukan. Dalam kaitan
ini tepat sekali jika headline harian rakyat merdeka. 27 juni yang lalu mengangkat
tulisan yang berjudul pemimpin perwibawa sudah lenyap semua.pernyataan
ini memberikan petunjuk bahwa akhlak sebagai besar para eliet politik yang
pernah dan sedang berkuasa saat ini benar-benar telah merosot dan berdampak
pada hilangnya wibawa mereka.
Sementara itu
krisis akhlak yang meninpa pada masyarakat umum terlihat pada bagian sikap sikap
yang dengan mudah merampas hak orang lain (menjalar), main hakim sendiri,
melanggar peraturan tampa mersa bersalah, mudah terpancing emosinya dan
sebagainya. sedangkan krisis akhlak yang meninpa kalangan belajar terlihat dari
banyaknya keluhan orang tua, ahli didik dan orang-orang yang berkecimpungan
dalam bidang agama dan sosial berkenaan dengan ulah sebagianya pelajar yang
sukar dikendalikan, nakal, keras kepala, sering membuat keonaran, tawuran,
mabuk-mabukan, dan lain sebagainya
Menghadapi
fenomena tersebut, tuduhan sering sekali diarahkan kepada dunia pendidikan
sebagai penyebabnya. Dunia pendidikan benar-benar tercoreng wajahnya dan tampak
tidak berdaya untuk mengatasi krisis tersebut. Hal ini bisa dimengerti, karena
pendidikan berda pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas, dan secara moral harus memang harus berbuat demikian. Itulah
sebabnya belakangan ini banyak sekali seminar yang digelar kalangan pendidikan
yang berkait mencari solusi untuk mengatasi krisis akhlak. Para pemikir
menyerukan agar kecerdasan akal diikuti dengan kecerdasan moral, pendidiakan
agama dan pendidikan moral harus siap memberikan kontribusi yang nyata dalam
mewujudkan masyarakat yang semakin berbudaya (masyarakat madani) dan
sebagainya.
Sejarah mencatat,
bahwa di akhir abad klasik krisis akhlak pernah melanda dunia Islam. Pada masa
itu ukhuwah Islamiyah sudah terkoyak-koyak oleh kepentingan politik, golongan
faham dan kesukuan. Satu kerajaan Islam dengan kerajaan lainya saling
bermusuhan dan berperang. Para penguasa pada saat itu sudah banyak yang
terlibat dalam perbuatan yang memperturunkan hawa nafsu, korupsi, kolusi dan
nepotisme. Sedangkan putra-putra mahkota sudah banyak yang bergelimang dengan
perbuatan maksiat, berkelahi antara satu dan lainya karena memperebutkan
kedudukan, harta dan pengaruh.
Menghadapi
keadaan yang demikian, para ulama mengarahkan kegiatan para pendidik untuk
membina akhlak. Al-Ghazali (W.1111 M) misalnya mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah mengembangkan budi pekerti yang mencakup penanaman kualitas
moral dan etika seperti kepatuhan, kemanusiaan, keserderhanaan, dan membenci
terhadap perbuatan buruk seperti pola hidup berfoya-foya dan kemungkaran
lainya.
Gerakan membina
akhlak melalui pendidikan ini dialkukan oleh ulama-ulama berikutnya. Hasilnya
memang cukup mengagumkan. Akhlak masyarakat mulai meningkat, tetapi terhadap
ilmu pengetahuan atau pembinaan terhadap kecerdasan intelektual tertinggi.
Akibat mulai di abad pertenghan umat Islam tertinggal dalam bidang ilmu
pengetahuan. Keharusa memciptakan keseimbangan antara kecerdasan akhlak dengan
kecerdasan intelektual menjadi tidak seimbang, dan upaya untuk menciptakan
keseimbangan ini tampak belum berhasil. Keadaan sekarang menunjukan bahwa
pendidikan telah berhasil membina kecerdasan intelektual, tetapi belum membina
kecerdasan akhlak, dengan tanda-tandanya sebagai tersebut di atas. Kini untuk
mengatasi krisis akhlak mumcul kembali terlebih dahulu mencari akar penyebab.
Akar-akar
penyebab timbulnya krisis akhlak tersebut cukup banyak. Yang terpenting di
antaranya adalah
Pertama, krisis akhlak
terjadi kareana longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan hilangnya
pengontrolan diri dari dalam (self control). Selanjutnya alat
pengontrolan berpindah hukuman dan masyarakat. Namun karena hukum dan
masyarakat sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat kontrol.akibatnya manusia
dapat berbat sesuka hati dalam dalam melakukan pelanggaran tanpa ada yang
menegur.
Kedua,krisis akhlak
terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah dan
masyrakat sudah tidak efektif. Ketika institusi pendidiakan ini sudah terbawa
oleh arus kehidupan yang lebih mengutamakan materi tanpa diimbangi dengan
material spiritual.
Ketiga,krisis akhlak
disebabkan karena derasnya arus budaya hidup materiallistik, hedonistik dan
sekualistik. Derasnya arus budaya demikian itu didukung oleh para penyandang
modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan memanfaatkan para
remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan akhlak. Berbagai produk
bernuansa demikian itu dapat dilihat dalam bentuk semakin banyaknya
tempat-tempat hiburan yang mengundang selera biologis, peredaran obat-obatan
terlarang, buku-buku porno, dan lain sebagainya.
Keempat,pendidikan harus
menggunakan seluruh kesempatan, sebagai sarana termasuk teknologi moderen.
Kesempatan bereaksi, pameran, kunjungan, berkemah, dan sebagainya harus dilihat
sebagai peluang untuk membina akhlak. Demikian pula sebagai sarana peribadatan
seperti masjid, mushola, lembaga-lembaga pendidikan, surat kabar, majalah
radio, televisi, internet dan sebagainya dapat digunakan sebagai sarana untuk
membentuk akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Nata Abuddin , Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Kencana, 2003)
Umar Bukhari, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta : Amzah, 2010)