SEMANGAT BELAJAR: ADMINISTRASI PENDIDIKAN PENDIDIKAN ISLAM DAN MORAL BANGSA

Pages

Wednesday, 16 September 2015

ADMINISTRASI PENDIDIKAN PENDIDIKAN ISLAM DAN MORAL BANGSA



A.    Pengertian Pendidikan Islam dan moral bangsa
Prof. Dr. Omar Muhammad At-Toumi Asy- Syaibany mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi- profesi asasi dalam masyarakat.
Pendidikan dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seorang dapat mengarah kehidupannya sesuai dengan cita- cita Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk kehidupan sesuai dengan ajaran Islam.
Pengertian itu mengacu pada perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip- prinsip Islami yang diamanahkan oleh Allah S.W.T kepada manusia, sehingga manusia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan iptek.
 Dari beberapa pengertian tersebut dikatakan bahwa pendidikan islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.
Secara sederhana pendidikan islam dapat di artikan sebagai pendidikan yang dasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagai tercantum dalam al-Quran dan al-Hadis serta dalam pemikiran para ulamak dan dalam praktek sejarah ummat Islam. Berbagai komponen dalam pendidikan mulai dari dan evaluasi pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran islam. Jika berbagai komponen tersebut satu dan lainnya membentuk suatu sistem tersebut selanjutnya dapat disebut sebagai sistem pendidikan islam.[2]
Pendidikan islam adalah pendidikan yang segala komponennya mengacu pada konsep-konsep islam dan mampu mempraktekkan ajaran- ajaran islam tentang pendidikan.
Dalam islam moral sering diterjemahkan dengan akhlak. Murtada muthohari mengatakan bahwa akhlak mengacu kepada suatu perbuatan yang bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai daripada perbuatan alami manusia.
Pengertian moral menurut ibnu maskawaih adalah suatu perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dalam melakukannya.[3]
 Sedangkan pendidikan moral ditunjukan untuk melindungi manusia dari perbuatan buruk yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada baik dalam masyarakat, bangsa, dan bernegara. Dalam kurun decade ini, bangasa bangsa Indonesia mengalami kemunduran yang sangat hebat, di tandai dengan tingginya angka freesex atau sex bebas di kalangan remaja, sering terjadi bentrokan antara warga, antar pelajar, mahasiswa dengan aparat, dan lainya yang biasanya didasari masalah sepele.
Gejala kemerosotan moral dewasa ini sudah benar-benar sangat memghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong-menolong dan kasih sayang sudah tutup oleh penyelewengan, menipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Banyak terjadi adu domba dan fitnah, menjilat, menipu, mengambil hak orang lain sesuka hati, dan perbuatan maksiat lainya.
Kemerosotan moral yang demikian itu lebih mengkhawatirkan lagi, karena bukan hanya menimpa kalangan orang dewasa dalam berbagai jabatan, kedududkan dan profesi, melainkan juga telah menimpa pada pelajar tunas-tunas muda yang diharapkan dapat melanjutkan perjuangan membela kebenaran, keadilan dan perdamaian masa depan. Belakangan ini kita banyak mendengar keluhan orang tua, ahli didik dan orang-orang yang berkecipungan dalam bidang agama dan sosial, berkenaan dengan perilaku remaja yang sukar di kendalikan, nakal, keras kepala, berbuat keonaran, maksiat, tawuran mabuk-mabukan, pesta obat-obatan terlarang, bahkan melakukan pembajakan, pemerkosaan pembunuhan dan tingkah laku menyimpang yang lainnya.
              Pendidikan agama dan pendidikan moral mendapatkan tempat yang wajar dan leluasa dalam system pendidikan nasional Indonesia. Dengan demikian, pendidikan agama berkait dengan pembinaan sikap mental spiritual yang selanjutnya dapat mendasari tingkah laku manusia dalam bidang kehidupan. Pendidikan agama tidak lepas dari upaya menanam kan upaya menanamkan nilai-nilai serta unsure agama pada jiwa sesseorang. Unsure-unsur agama tersebut secara umum ada empat
1.      Keyakinan atu kepercayaan terhadap adanya atau kekuatan gaib tempat berlindung dan memohon pertolongan.
2.      Melakukan hubungan yang sebaik-baiknya dengan tuhan guna mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat .
3.      Mencintai dan melaksanakan perintah tuhan, serta menjauhi larangan-Nya, dengan jalan beribadah yang setulus-tulusnya, dan meninggalkan segala hal yang diizinkan-Nya.
4.      Menyakini adanya hal-hal yang dianggap suci dan sacral, seperti kitap suci, tempat ibadah dan lainya
                 Adapun moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat, yang timbul dari hati bukan paksaan dari luar, yang disertai pola rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut.
                 Dalam Islam moral merupakan terjemahan dari kata akhlak. Dikalangan para ulama terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud dengan akhlak. Murtada muthahari misalnya mengatakan bahwa akhlak mengacu kepada suatu perbuatan yang bersifat kemanusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya.
                 Selanjutnya jika pengertian agama dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainya tampak saling berkaitan dengan erat. Tentang eratnya hubungan agama dan moral sangat penting bahkan yang terpenting, dimana kejujuran, kebenaran, keadilan dan pengapdian adalah di antara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.
                 Terlihat denagn jelas bahwa pendididkan agama dan moral memiliki hubungan yang erat. Tingkah laku moral yang baik antara lain dapat ditimbulkan melalui penanaman nilai-nilai pendidikan agama. Di akui bahwa untuk menumbuhkan moral yang baik dapat pula diperoleh dari hasil penalaran manusia (rasio). Namun, moral yang baik akan lebih kokoh jika didasari pada nilai-nilai agama yang bersumber dari wahyu. Hal ini yang demikian dapat dopahami karena nilai-nilai moral yang berdasarkan agama (wahyu) memiliki nilai eskatologis, yakni sanksi pahala di akhirat.

B.     Strategi pendidikan agama dan moral pada era global
                Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat, kata ini selanjutnya menjadi istilah yang merujuk kepada suatu keadaan dimana antar suatu Negara dengan Negara lain sudah menyatu. Batas-batas territorial, kultural, dan sebagainya sudah bukan merupakan hambatanlagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situs ini tercipta berkat adanya dukungan teknologi canggih di bidang komunikasi.
                 Munculnya situasi global tersebut disamping menimbulkan dampak positif, yaitu semakin mudanya mendapatkan informasi dalam waktu sigkat, juga menimbulkan dampak nrgatif, yaitu mana kala informasi yang dimuat dalam berbagai peralatan komunukasi tersebut adalah informasi yang merusak moral. Pola budaya hubungan serba bebas antara lawan jenis, model pakaian yang tidak mengindahkan batas-batas aurat, gambar-gambar porno dan sebagainya dapat dengan mudah di jumpai melalui berbagai peralatan teknologi tersebut, dan keberadaannya sudah sangat sulit dikontrol.berbagai peralatan tealah seamakin membuka peluang atau menambah subur bagi terciptanya maoral yang buruk. Hal yang demikian dirasakan lebih menarik bagi kalangan generasi muda yang serba ingin tahu.
                 Masyarakat sekarang yang tinggal di era global sudah tidak bisa menyembunyikan dirinay lagi dari perubahan zaman. Adpun langkah-langkah
                 Pertama, pendidikan moral agama dapat dilakukan dengan memantapkan pelaksanaa pendidikan agama, karena sebagai mana telah diuraikan diatas, bahwa nilai-nilai dan ajaran agama pada akhirnya ditunjukan untuk membentuk moral yang baik.
            Kedua, pendidikan agama yang dapat menghasilkan perbaikan moral harus dirubah dari model pengajaran agam akepada pendidikan agama. Pengajaran agama dapat berarti mengalihkan pengetahuan agama atau mengisi anak dengan pengetahuan agama, sedangkan pendidikan agama dapat berarti membina dan mewujudkan perilaku manusia yang sesuai dengan tuntutan agama, sedangkan pendidikan agama dapat dilakuakn dengan membiyasakan anak berbuat baik dan sopan santun santun dengan berbagai hal mulai dari kecil sampai dewasa.
       Ketiga, pendidikan moral, dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Pendidikan moral bukan hanya terdapat dalam pendidikan agama saja, melainkan juga terdapat pada pelajaran bahasa, logika, matematika, fisika, biologi, sejarah dan sebagainya. pelajaran bahasa misalnya melatih dan mendidik manusia agar berbicara yang lurus.
       Keempat, sejarah dengan cara yang ketiga tersebut di atas, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru, pendidikan moral bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama seperti yang selama ini ditekankan, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh guru.
       Kelima, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha sungguh-sungguh dari keluarga/rumah tamgga, sekolah dan masyarakat.
       Keenam, pendidikan moral harus menggunakan seluruh kesempatan, sebagai sarana termasuk teknologi moderen. Kesempatan berekreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan sebagainya harus digunakan sebagai peluang untuk membina moral. Demikian seperti sarana masjid, mushala, lembaga-lembaga pendidikan.
 
C.       Etika ,moral,budaya dan kaidah agama

Secara terminologi antara etika, moral dan budaya dapat dibedakan.Istilah etika mengacu kepada aturan normatif tentang baik dan buruk yang bersumber pada pemikiran rasional yang jernih.
Sedangkan istilah moral terkait dengan upaya menjujung tinggi nilai-nilai ideal yang universal seperti kemanusiaan, kejujuran, keadilan, kesederajatan dan nilai sebagainya. selanjutnya kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batil (akal budi) manusia yang dapat mengambil bentuk kepercayaan , kesenian, adat istiadat. Selain itu kebudayaan dapat pula diartikan kegiatan (usaha), batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang merupakan hasil kebudayaan.  
 Dengan memperhatikan batasan pengertian tersebut tampak jelas bahwa antara etika, moral dan budaya hakikatnya satu, yaitu sebagai produk daya cipta, rasa dan karya manusia. Ketiganya dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kebudayaan yang didalamnya mencakup etika, moral dan budaya itu selanjutnya dapat digunakan sebagai kerangka acuan, Oleh seseorang menjawab berbagai masalah yang digadapinya. Dengan demikian kebudayaan akan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan generasiselanjutnya yang diwarisi kebuyaan tersebut. Berbeda dengan kebudayaan sebagaimana tersebut diatas, kaidah agama sebagai nilai-nilai luhur yang bersal dari Tuhan yang diturunkan melalui wahyu-Nya. Namun demikian tidak berarti atara agama dan kebudayaan saling bertentangan, melainkan bisa saja antara keduanaya saling bertemu dan saling bersinggungan. Salah seorang filosof muslim, Ibn Rusyd (520m/1126), termasuk di anatara yang melihat antara agama dan kebudayaan (produk akal) tidak saling bertentanagan. Hal ini didasarkan pada alasan, karena agama yang bersumber pada wanyu berasal dari Tuhan. Demikian pula produk akal seperti filsafat dan kebudayaan yang bersumber pada akal juga berasal dari tuhan, karena akal adalah cipta-Nya. Oleh kareana sebaba itu di anatar keduanaya tidak mungkin terjadi pertentanagan. Dan jika lahiriahnya kelihatan atara pendapat akal denga wahyu bertentangan, maka pada hakikatnya tidak bertentangan. Yang bertentanagan adalah hasil penafsiranaya manusia terhadap wanyu tersebut, perlu dialakuakan upaya membersihkan jiwa dan berkomunikasi secara spiritual denga Tuhan secara terus menerus. 
Kebudayaan yanag demikian itu sealanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat dalam dataran empiriknya, atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala dalam masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wanyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitap fikih (hukum islam), maka figih yang merupakan pelaksanaan dari nash al-quran maupu hadis sudah melibat unsur penalaran dan kemaupun kemanusiaan. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkait dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Denagn melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut, seseorang dapat menggelamkan ajaran agamanya.
 
D.    Peran Etika, Moral, Budaya dan Kaidah Agama Sebagai Perekat Persatuan dan Kesatuan           Bangsa

 Etika, moral, budaya kaidah agama memiliki peran banyak dalam bimbingan masyarakat menuju terbentuknya masyarakat yang sejahtera lahir dan batin, termasuk dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini secara singkat dapat di kemukakan sebagai tersebut.
Pertama, teori etika yang dibangun berdasarkan pada potensi psikologis yang terdapat dalam diri manusia, yakni akal, nafsu amarah dan nafsu biologis. Etika yang baik akan mumcul apa bila semua potensi psikologis tersebut digunakan secara pertengahan. Akan digunakan secara seimbang dan didasarkan pada petunjuk agama akan menghasilkan hikamah. Nafsu amarah yang digunakan secara pertengahan menghasilkan sikap ksatria. Dan nafsu biologis yang digunakan secara pertengahan akan mengalami sikap iffab ( terpelihara dari perbuatan maksiat) sebaliknya akalyang digunakan secar aberlebihan akan menghasilakan seorang yang pintar keblinger, dan jika terlalu lemah akan menghasilkan keadaan idiot. Selanjutnya hawa nafsu yang digunakan secara berlebihan akan sikap yang menghantam kromo dan membabi buta, dan jika nafsu yang digunakan terlalu lemah akan menghasilkan sikap yang pengecut. Demikian inti dari timbulnya sikap etis adalah pengendali diri.
Kedua, dalam bidang moral, menarik sekali apa yang dikatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa inti dari ajaran moral bertumpu pada upaya menjalani hubungan yang baik atara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia lainya. Moral menurutnya terkait dengan upaya menjujung tinggi nilai-nilai luhur yang dihormati oleh manusia, dan akan menjaga keutuhan manusia, seperti keadilan, kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan lain sebagainya. Dengan demikian terlihat jelas bahwa moral yang diterapkan secara konsisten akan dapat mendukung terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketiga,dalam bidang kebudayaan, sebagai mana telah disebutkan di atas, ternyata erat sekali hungananya dengan nilai-nilai agama. Khususnya kebudayaan yang berkembang di indonesia erat sekali hubungannya dengan nilai-nilai agama. Dengan demikian pengalama kebudayaan secara konsekuen akan menghasilkan persatuan dan kesatuan bangsa, seperti kebudayaan gotong royong, saling menolong, saling menghormati dan lain sebagainya.
Dengan demikian, ukhuwal Islamiyanya lebih menggambarkan ukhuwal yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran isalam, yaitu agama yang bukan hanya menghormati makhluk Tuhan yang bernama manusia, melaikan juga makhluk tuhan lainya, kecualai syaitan.

E.   Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Sejarah islam

Sejarah isalam sebagian terdapat dalam al-Quran dan Hadis, khususnya yang berkenaan dengan konsep persatuan dan kesatuan sebagaimana tersebut di atas tampak demikian ideal. Namun praktek persatuan dan kesatuan sebagai mana terlihat dalam sejarah Islam, tidak selamaya menunjukan keadaan sebagaimana yang ditunjukan yang di atasa. Konsep persatuan dan kesatuan dalam konteks ukhuluah Islamiyah telibat secara dominan pada masa rosulullah sebagai Nabi dan pemimpin ummat. Namun setelah zaman beliau, mulai dari zaman khulafah al-Rasyidin sampai dengan sekarang, persatuan dan kesatuan ummat secara jujur harus berani dikatakan bahwa dalam prakteknya ummat Islam lebih banyak tidak bersatu dari pada bersatu. Dan sekalipun terlibat bersatu, namun terkadang bersifat semu dan sesat.

F.   Urgensi pendidikan akhlak bagi remaja

Pendidikan akhlak bagi para remaja amat urgen untuk dilakukan dan tidak dapat dipandang ringan. Denga terbinanya akhlak para remaja ini berarti kita telah memberikan sumbngan yang besar bagi penyiapan masa depan bangsa yang lebih baik. Sebaliknya jika kita membiyarkan para remaja terjerumus kedalam perbuatan yang tersesat, berarti kita telah membiyarkan bangsa dan negara ini terjerumus ke jurang kehancuran. Pembinaan para remaja juga berguna baik bagi remaja yang bersangkutan, karena dengan cara demikian masa depan kehidupan mereka akan penuh harapan yang menjanjikan. Dengan terbinanya akhlak para remaja keadaan lingkungan sosial juga semakin baik, aman, tertib dan tentram, yang memungkinkan masyarakat akan merasa nyaman. Baebagai gangguan lingkungan yang diakibatkan ulah sebagai para remaja sebaimana disebutkan di atas dengan sendirinya akan lenyap. Menyadari akan hal yang demikian, maka berbagai prtunjuk al-Quran dan Hadis tentang pembinaan remaja patut kita renungkan dan kita amalkan. Petunjuk tersebut misalnya dengan memberikan contoh dan teladan berupa tutur kata dan perbuatan yang baik. Membiyasakan membaca al-Quran, tekun mengerjakan sholat lima waktu, berpakaian yang sopan, makan minum yang halal dan baik, bergaul dengan sesama orang baik serta menjauhi perbuatan yang buruk, menolong orang-orang yang berada dalam kesusahan dan lain sebagainya. petunjuk tersebut kiranya dapat dipegang teguh dan dilaksanakan secara konsekuen. Dengan cara demikian akhlak para remaja akan terbina dengan baik.
G.  Peran pendidikan dalam mengatasi krisis akhlak
Krisis akhlak semula hanya menerpa sebagian kecil elitis politik (penguasa), kini telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar. Krisis politik pada kaum elitis politik terlihat dengan adanya penyelewengan, penindasan, saling menjegal, adu domba, fitnah, menjilat dan sebagainya yang mereka lakukan. Dalam kaitan ini tepat sekali jika headline harian rakyat merdeka. 27 juni yang lalu mengangkat tulisan yang berjudul pemimpin perwibawa sudah lenyap semua.pernyataan ini memberikan petunjuk bahwa akhlak sebagai besar para eliet politik yang pernah dan sedang berkuasa saat ini benar-benar telah merosot dan berdampak pada hilangnya wibawa mereka.
Sementara itu krisis akhlak yang meninpa pada masyarakat umum terlihat pada bagian sikap sikap yang dengan mudah merampas hak orang lain (menjalar), main hakim sendiri, melanggar peraturan tampa mersa bersalah, mudah terpancing emosinya dan sebagainya. sedangkan krisis akhlak yang meninpa kalangan belajar terlihat dari banyaknya keluhan orang tua, ahli didik dan orang-orang yang berkecimpungan dalam bidang agama dan sosial berkenaan dengan ulah sebagianya pelajar yang sukar dikendalikan, nakal, keras kepala, sering membuat keonaran, tawuran, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya
Menghadapi fenomena tersebut, tuduhan sering sekali diarahkan kepada dunia pendidikan sebagai penyebabnya. Dunia pendidikan benar-benar tercoreng wajahnya dan tampak tidak berdaya untuk mengatasi krisis tersebut. Hal ini bisa dimengerti, karena pendidikan berda pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan secara moral harus memang harus berbuat demikian. Itulah sebabnya belakangan ini banyak sekali seminar yang digelar kalangan pendidikan yang berkait mencari solusi untuk mengatasi krisis akhlak. Para pemikir menyerukan agar kecerdasan akal diikuti dengan kecerdasan moral, pendidiakan agama dan pendidikan moral harus siap memberikan kontribusi yang nyata dalam mewujudkan masyarakat yang semakin berbudaya (masyarakat madani) dan sebagainya.
Sejarah mencatat, bahwa di akhir abad klasik krisis akhlak pernah melanda dunia Islam. Pada masa itu ukhuwah Islamiyah sudah terkoyak-koyak oleh kepentingan politik, golongan faham dan kesukuan. Satu kerajaan Islam dengan kerajaan lainya saling bermusuhan dan berperang. Para penguasa pada saat itu sudah banyak yang terlibat dalam perbuatan yang memperturunkan hawa nafsu, korupsi, kolusi dan nepotisme. Sedangkan putra-putra mahkota sudah banyak yang bergelimang dengan perbuatan maksiat, berkelahi antara satu dan lainya karena memperebutkan kedudukan, harta dan pengaruh.
Menghadapi keadaan yang demikian, para ulama mengarahkan kegiatan para pendidik untuk membina akhlak. Al-Ghazali (W.1111 M) misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan budi pekerti yang mencakup penanaman kualitas moral dan etika seperti kepatuhan, kemanusiaan, keserderhanaan, dan membenci terhadap perbuatan buruk seperti pola hidup berfoya-foya dan kemungkaran lainya.
Gerakan membina akhlak melalui pendidikan ini dialkukan oleh ulama-ulama berikutnya. Hasilnya memang cukup mengagumkan. Akhlak masyarakat mulai meningkat, tetapi terhadap ilmu pengetahuan atau pembinaan terhadap kecerdasan intelektual tertinggi. Akibat mulai di abad pertenghan umat Islam tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan. Keharusa memciptakan keseimbangan antara kecerdasan akhlak dengan kecerdasan intelektual menjadi tidak seimbang, dan upaya untuk menciptakan keseimbangan ini tampak belum berhasil. Keadaan sekarang menunjukan bahwa pendidikan telah berhasil membina kecerdasan intelektual, tetapi belum membina kecerdasan akhlak, dengan tanda-tandanya sebagai tersebut di atas. Kini untuk mengatasi krisis akhlak mumcul kembali terlebih dahulu mencari akar penyebab.
Akar-akar penyebab timbulnya krisis akhlak tersebut cukup banyak. Yang terpenting di antaranya adalah
Pertama, krisis akhlak terjadi kareana longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan hilangnya pengontrolan diri dari dalam (self control). Selanjutnya alat pengontrolan berpindah hukuman dan masyarakat. Namun karena hukum dan masyarakat sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat kontrol.akibatnya manusia dapat berbat sesuka hati dalam dalam melakukan pelanggaran tanpa ada yang menegur.
Kedua,krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah dan masyrakat sudah tidak efektif. Ketika institusi pendidiakan ini sudah terbawa oleh arus kehidupan yang lebih mengutamakan materi tanpa diimbangi dengan material spiritual.
Ketiga,krisis akhlak disebabkan karena derasnya arus budaya hidup materiallistik, hedonistik dan sekualistik. Derasnya arus budaya demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan akhlak. Berbagai produk bernuansa demikian itu dapat dilihat dalam bentuk semakin banyaknya tempat-tempat hiburan yang mengundang selera biologis, peredaran obat-obatan terlarang, buku-buku porno, dan lain sebagainya.
Keempat,pendidikan harus menggunakan seluruh kesempatan, sebagai sarana termasuk teknologi moderen. Kesempatan bereaksi, pameran, kunjungan, berkemah, dan sebagainya harus dilihat sebagai peluang untuk membina akhlak. Demikian pula sebagai sarana peribadatan seperti masjid, mushola, lembaga-lembaga pendidikan, surat kabar, majalah radio, televisi, internet dan sebagainya dapat digunakan sebagai sarana untuk membentuk akhlak.


DAFTAR PUSTAKA

Nata Abuddin , Manajemen Pendidikan,  (Jakarta : Kencana, 2003)

Umar Bukhari, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Amzah, 2010)

No comments:

Post a Comment

Jika ada pertanyaan dan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan artikel. Langsung saja kalian tulis di contak comment yang kami sediakan atau click post a comment dan jangan lupa untuk Berkomentar yang baik 🙂