Dalam
berbagai hal seputar linguistik tentang objek studinya, makna bahasa juga
merupakan satu tataran linguistik. Tentu
harus di ingat bahwa status tataran semantik dengan tataran, fenologi,
marfologi, dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara hierarkial satuan
bahasa yang disebut wacana, dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh
klausa, satuan klausa dibangun oleh frase, satuan frase di bangun oleh kata;
satuan frase di bangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem dan
satuan fonem dibangun oleh fon atau
bunyi. Dari bangun membangun ini, makna semantik dengan objeknya berada di seluruh
atau semua tataran fonologi, marfologi dan sintaksis. Pendapat kaum
strukturalis umumnya, bahwa makna yang menjadi objek semantik adalah sangat
tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris, sebagaiman sub sistem gramatika
(morfologi dan sintaksis). Demikian juga dengan Comsky, bapak linguistik
transformasi, dalam bukunya yang pertama (1957) tidak menyinggung-nyinggung
masalah makna. Baru dalam bukunya yang kedua (1965) beliau menyatakan bahwa
semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain
adalah sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat sangat ditentukan oleh
komponen semantik karena dari komponen inilah, makna atau suatu arti dapat digali
dan di ketahui sebagai pembahasan dalam penyampaian suatu objek secara
keseluruhan, sehingga kerumitan dalam semantik seperti yang sudah diketahui
arti sebelumnya, perlu adanya teori yang baik dalam mengartikan sebuah objek
lambang, bunyi ataupun bahasa dalam menyimpulkan arti yang sebenarnya sedang
benar-benar di tuju. Dapat diartikan Semantik merupakan suatu unsur yang
kehadirannya pada setiap tatarannya bersifat tidak selalu sama.
1. SEMANTIK
Memiliki beberapa arti yaitu semantik menurut bahasa
Inggrisnya semantics, dan semantique dalam bahasa perancis, kata sifatnya semantic (bahasa Grik: semion
= ‘mark, sign,, tanda’). Kita dapat membicarakan suatu keadaan sebagai
suatu kemampuan manusia untuk melihat
gejala yang ada pada alam melalui fisik/bentuk, phisis, dan
simbol-simbol tertentu. Berkomunikasi pada hakekatnya pendayagunaan simbol-simbol
tertentu yang digunakan dan disepakati bersama oleh pihak-pihak yang
berkomunikasi. Dalam berkomunikasi maka memiliki suatu bentuk bahasa yang diartikan
suatu sistem dari bentuk-bentuk yang dipakai untuk menyampaikan arti yang berkaitan
erat dengan kondisi-kondisi sekitar pemakainya, dan makna dari bahasa erat
kaitannya siapa yang berkata di mana, sedang apa, kapan dan bagaimana. Hubungan
antara benda (obyek) dan simbol linguistik inilah (kata, frase,dan kalimat)
yang menjadi obyek studi semantik.
A. PENGERTIAN
MAKNA
Makna itu ada dibalik kata. Kata
semantik adalah kata-kata yang pengelompokannya didasarkan pada arti. Kata luas dan besar misalnya adalah dua kata
leksis (makna yang sebenarnya) yang berbeda tetapi mengacu pada satu semantik
yang sama. Contohnya adalah kata luas dan besar yang memiliki satu artian yang
menuju pada satu obyek yang sama.
Persoalan makna merupakan kehidupan yang menarik
dalam kehidupan sehari-hari. Reklame yang di pasang di tepi jalan yang
bertuliskan lezzzat, akan sangat sulit
dipahami jika si pembaca tidak segera menyadari yang dimaksud tulisan itu
adalah lezat, sedap, enak. Begitupun jika seorang yang berbudaya Jawa berkata
kepada seorang yang berbudaya Gorontalo, “Mari,
Pak!” orang Gorontalo yang mendengar kata itu langsung berdiri dan karena
orang jawa tersebut mengendarai sepedah ia naik membonceng. Orang yang
berbudaya Jawa terkejut dan bertanya, “
Bapak mau kemana?” dijawab oleh si gorontalo, “ Bapak kan mengatakan mari pak.” Orang Gorontalo tersebut mengira
ia diajak; padahal urutan kata mari pak bagi
yang berbudaya jawa merupakan ungkapan untuk meminta izin lewat. Kasus-kasus
tersebut merupakan sebagian dari yang ada, memperlihatkan adanya beban yang
terdapat dalam kata-kata yang digunakan , yakni makna. Oleh karena itu soal
makna yang seperti inilah nantinya yang akan dibahas dalam objek makna
semantik.
Istilah makna (
meaning ) merupakan kata dan istilah yang membingungkan, tetapi yang lebih
dekat dari makna yaitu dengan kata. Sering kita ucapkan ketika kita bingung,
apa artinya kata ini, apa arti kalimat itu, dan lainnya. Banyak teori yang di
kemukakan orang, dan sebagai contohnya kita ikuti saja pandangan Ferdinantde
Saussure dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda
linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang
wujudnya berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan”, yang wujudnya berupa pengertian
atau konsep (yang dimiliki oleh signifian). Umpamanya tanda linguistik ditampilkan
dalam bentuk ortografis, <Meja> yang terdiri dari komponen signifian,
yakni berupa runtutan fonem /m/,/e/,/j/ dan /a/; lalu komponen signifienya
berupa konsep atau makna ‘sejenis perabotan kantor atau rumah tangga’. Tanda
linguistik ini merupakan bagian runtutan fonem dan konsep yang runtutan fonemnya mengacu pada sebuah referen yang
berada di luar bahasa, yaitu “sebuah meja”. Dengan demikian dari analisis teori
tersebut di kembangkan menjadi sebuah pandangan bahwa, makna adalah
‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki yang terdapat pada sebuah
tandalinguistik. Tanda linguistik berwujud dari identitas kata yang dipergunakan
atau sebuah objek yang akan di jadikan sampel, jika yang dibahas adalah tentang
Kata maka maknanya pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau
leksem; begitupun pembahasan untuk morfem, dan lainnya. Lihat Kridalaksana
(1989), misalnya, yang menyatakan setiap tanda-bahasa sebagai pananda tentu mengacu pada suatu yang ditandai
petanda, karena adanya penanda maka
akan mempunyai petanda.
Di dalam sebuah buku telah dikumpulkan tidak kurang
dari 22 batasan mengenai makna.
Bagi orang awam, untuk memahami makna kata tertentu, ia dapat mencari arti
dalam kamus sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut makna leksikal
(artinya masih sempit sedang pada kenyataanya memiliki makna yang luas). Itu
sebabnya terkadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di dalam
kamus. Hal-hal yang seperti ini akan muncul jika orang bertemu atau berhadapan
dengan idiom, gaya bahasa, pribahasa,
metafora, dan ungkapan.
Di dalam kehidupan sehari-hari kadang orang membaca
atau mendengar kata atau kalimat yang menggunakan bahasa yang bukan bahasanya
seperti keseharian. Di sini bukan hanya saja berhadapan dengan persoalan makna
kata, tetapi juga persoalan mengalihbahasakan. Dengan kata lain, orang tadi
berurusan dengan istilah teknis untuk setiap kata yang selanjutnya mengalihbahasakan
ke dalam bahasanya sendiri, misalnya orang Gorontalo mendengar kata cat dalam bahasa inggris. Orang awam
akan akan membuka kamus Inggris-Indonesia untuk mencari makna kata cat. Di dalam kamus di temukan entri cat dengan arti kucimg dalam BI. Dalam
proses ini pertamanya orang Gorontalo tadi belum berhadapan dengan makna kata cat, tetapi baru berhadapan dengan
padanannya/ hanya artinya belum pada maknanya. Lalu padanan kata kucing tadi dialihkan
bahasa ke dalam bahasa Gorontal sedang di bahasa Gorontalo terdapat kata tete yanng berarti kucing dalam BI dan berpadanan
dengan kata cat dalam bahasa inggris.
Orang awam tadi memahami makna kata cat
melewati dari kata kucing. Orang yang mengerti bahasa Inggris, dari kata cat ia langsung memahami maknanya tanpa
melalui kata kucing atau kata tete. Langsung
terbayang padanya besarnya kucing, bulunya, warna bulunya, cara menangkap
mangsa. Tentu saja kucing yang sudah ada dalam pengalamannya adalah kucing yang
ia kenal atau ia ketahui, sehingga belum
tentu apa yang di terakan pada kamus
ataupun yang di pikirkan pada orang Gorontalo tadi sama dengan objek yang di
tuju pada kenyataan yang sebenarnya. Itu sebabnya dikatakan istilah makna merupakan istilah yang membingungkan, kadang-kadang makna yang
ada dalam lambang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Pada beberapa tokoh yang telah diketahui seperti C.K.
Ogden dan I.A. Richards dan de Saussure menggunakan sebuah bagan dalam menggambarkan
sebuah petak semantik.
B. PERUBAHAN
MAKNA
Bahasa berkembang seiring berkembangnya pula
pemikiran manusia dalam pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa diwujudkan dalam
bentuk kata-kata dan kalimat yaitu berupa penambahan maupun pengurangan.
Pengurangan yang di maksud di sini bukan saja pengurangan dalam kuantitas kata,
tetapi juga yang berhubungan dengan kualitas kata. Dan jika berbicara tentang
kualitas kata maka ini akan berhubungan dengan makna. Dikemukakan bahwa bahasa
berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Karena manusia
menggunakan kata dan kalimat dan sejalan dengan itu kata dan kalimat berubah
terus, maka dengan sendirinya maknanya pun berubah. Hal ini terjadi karena
manusia membutuhkan kata untuk dapat menyusun kalimat dalam berkomunikasi,
yaitu membutuhkan kata baru. Kadang-kadang karena belum ditemukan kata baru
untuk mendukung pemikirannya, maka pembicara mengubah bentuk kata yang telah
ada, atau boleh jadi mengubah makna kata yang telah ada untuk dapat dijadikan
alat dalam penambahan referensi kata yang telah ada. Yang terpenting, yaitu apa yang dipikirkan, apa
yang dirasakan, dan apa yang diinginkan tertampung dalam penggunaan bahasa.
Perubahan makna mencangkup banyak hal yaitu berupa pelemahan, pembatasan,
penggantian, penggeseran, perluasan, dan juga kekaburan makna.
Perubahan makna tersebut bisi saja terjadi karena perubahan kata dari bahasa
lain, termasuk dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Perubahan makna dapat
terjadi juga karena akibat dari pertukaran tanggapan indera contohnya patah hati,
ataupun perubahan lingkungan yang mengandung unsur baru yang harus dijelaskan
secara mendetail.
a. Faktor
Yang Menyebabkan Perubahan Makna
Telah
dikemukakan di depan bahwa makna dapat berubah dalam perjalanan kata sebagai
alat komunikasi manusia, yaitu hal ini terjadi karena :
·
Kebetulan,
makna terjadi karena kebetulan. Misalnya kata rawan. Dahulu kata rawan
selalu dihubungkan dengan tulang, menjadi tulang
rawan. Kata rawan bermakna muda,
lembut. Kini kata rawan sudah berubah
maknanya. Makna kata rawan sering banyak
di hubungkan dengan kekurangan, misalnya dalam urutan kata rawan pangan; atau dihubungkan dengan mudah menimbulkan gangguan
keamanan, sehingga muncul urutan kata rawan
perampokan, atau rawan pencurian, masih banyak yang lainnya.
·
Kebutuhan
baru. Misalnya dahulu kata berlayar bermakna menggunakan perahu layar untuk bepergian melalui
laut. Kata berlayar kini tetap
digunakan tetapi maknanya berubah. Maksudnya bukan bepergian menggunakan perahu
layar lagi tetapi bepergian dengan kapal laut.
·
Tabu,
kata
itu tabu dikatakan karena makna yang terkandung pada kata itu tidak senonoh
dilafalkan seperti dalam BI terdapat kata kakus.
Karena makna ini tabu dan tidak sopan jika dikatakan didepan oarng banyak
maka digantilah dengan kamar belakang atau
kamar kecil. Makna kamar belakang
atau kamar kecil secara harfiah tidak sama dengan kata . Namun pemakai BI sudah memahami kalau seseorang menanyakan hal
ini maka makna yang dimaksud adalah kakus, toilet, atau WC.
Dalam hubungan dengan perubahan makna,
Ullmann (1972:198-210) menyebutkan beberapa hal sebagai penyebabnya Hal-hal
itu meliput:
1) Faktor
kebahasaan, perubahan makna karena faktor-faktor kebahasaan berhubungan dengan
fonologi, marfologi, dan sintaksis. Misal kata bermain diubah menjadi bermain-main,
maka maknanya berubah.
2) Faktor
kesejarahan, perubahan makna karena faktor kesejarahan berhubungan dengan perkembangan kata. Misalnya kata wanita yang sebenarnya berasal dari kata
betina, yang berkembang menjadi batina, lalu fonem b berubah menjadi w.
3) Faktor
sosial, perubahan makna yang disebabkan oleh faktor perkembangan makna dalam
masyarakat. Misalnya, kata gerombolan yang
pada mulanya bermakna orang yang berkumpul atau kerumunan orang namun kata ini mulai tidak disukai sebab selalu
dihubungkan pada pemberontakan atau pengacau bahkan kata ini enggan digunakan.
4) Faktor
psikologis, berkaitan dengan kata tabu. Misalnya kata makan diganti dengan kata bersantap kata makan diganti dengan kata
mencicipi bermakna merasakan apakah
bumbunya sudah memadai atau belum; padahal yang di maksud sesorang itu sedang
makan.
5) Pengaruh
bahasa asing, misalnya documentatie (dokumentasi);
incident (insiden).
6) Karena
kebutuhan kata yang baru, misalnya karena bangsa Indonesia merasa kurang enak
menggunakan kata saudara, maka munculah kata anda. Kata saudara pada
mulanya dihubungkan dengan orang yang seibu dan seayah kita, kini kata saudara digunakan untuk siapa saja.
b. Perubahan
makna dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia
Telah
diketahui bahwa di Indonesia terdapat tiga kelompok bahasa, yakni bahasa
Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Misalnya, kata gembleng dalam bahasa Jawa
yang munculkan kata tergembleng,
digembleng, barmakna menjadi satu, dipersatukan. Dalam BI kata menggembleng yang diturunkan dari leksem
gembleng, bermakna melatih dan
mendidik supaya berpendirian kuat dan berhati teguh. Adapun contoh lainnya, semangat yang dikaitkan dengan rahasia
laki-laki. Itu sebabnya orang medan akan tersenyum jika ada orang yang
menyatakan “Marilah kita mengobarkan semangat
mengisi kemerdekaan” Kata semangat dalam
BI bermakna: roh kehidupan yang menjiwai segala makhluk yang dapat memberikan
suatu motivasi atau kekuatan. Hal ini lah yang dapat menambah daftar makna kata
yang berubah dari bahasa daerah tertentu ke BI. Pada suatu daerah maknanya X
tetapi pada BI bermakna Y.
c. Perubahan
Makna Akibat Perubahan Lingkungan
Bahasa
yang digunakan pada lingkungan masyarakat tertentu belum tentu sama maknanya
dengan makna kata yang digunakan di lingkungan
masyarakat lain. Misalnya kata cetak,
bagi mereka yang bergerak dipersuratkabaran, kata cetak selalu dihubungkan
dengan kata tinta, huruf, dan kertas. Tetapi bagi tukang bata, kata cetak
biasanya dikaitkan dengan kegiatan membuat batu bata, mencetak batu bata pada
cetakannya. Sedang bagi petani, kata mencetak biasanya dikaitkan dengan usaha
membuka lahan baru.
Masih
dengan leksem cetak yang menurunkan
kata lain, tetapi masih menghubungkan leksem cetak, memperlihatkan makna yang berbeda karena lingkungan yang
berbeda dengan kata lain makna berubah jika terjadi lingkungan pemakaian.
d. Perubahan
Makna Akibat Pertukaran Tanggapan Indra
Telah
diketahui bahwa indera manusia meliputi indera penciuman, indera pendengaran,
indera penglihatan, indera peraba, dan indera perasa. Masing-masing indera menimbulkan kelompok kata yang dapat
dimanfaatkan oleh pemakai bahasa. Indera penciuman menghasilkan kelompok kata busuk, harum; indera pendengaran
menghasilkan kata keras, lembut, merdu; indera
penglihatan menimbulkan kata gelap,
jelas, kebur, terang; indera peraba menimbulkan kata halus, kasar; sedang indera perasa menghasilkan kata benci, jengkel, iba, kasihan, rindu, sedih. Perubahan
makna akibat pertukaran indera, disebut sinestesi
(kata Yunani : sun = sama dan aesthetikos = tampak). Pertukaran indera
dimaksud, misalnya indera pendengaran dengan indera penglihatan, indera perasa
ke indera penglihatan. Misal kata terang berhubungan
dengan indera penglihatan, tetapi kalau orang berkata “suaranya terang” maka hal ini berhubungan dengan
pendengaran. Contoh ini memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan makna
akibat pertukaran tanggapan indera. Perubahan ini kebanyakan terarah
keperubahan bermakna kias.
e. Perubahan
Makna Akibat Gabungan Leksem Atau Kata
Sebelumnya
biasa telah mendengar kata surat. Maknanya
telah di ketahui bahkan sering mengirim surat pada ibu, bapak, atau kenalan.
Dihubungkan dengan pemakaian bahasa, kata surat ternyata dapat dihubungkan atau
digabungkan dengan kata yang lain, dan tentu saja maknanya akan berubah. Orang
mengenal surat jalan, surat jual beli,
surat kaleng, surat keterangan, surat perintah, surat permohonan, surat sakit,
dan surat tamat belajar. Sehingga suatu kata atau leksem jika digabungkan
maka maknanya akan menjadi berubah.
f. Perubahan
Makn Akibat Tanggapan Pemakai Bahasa
Makna
ini terdiri dari dua hal yang menjurus yaitu hal yang menyenangkan dan hal yang
tidak menyenangkan. Makna hal yang menjurus ke hal yang menyenangkan, disebut
makna amelioratif, sedang makna yang
menjurus ke hal yang tidak menyenangkan, disebut makna perioratif
Urutan kata kaki tangan dahulu bermakna anggota
badan, yakni kaki dan tangan.
Maknanya bersifat menyenangkan, jadi amelioratif. Dengan munculnya urutan kata kaki tangan musuh, kaki tangan belanda, kaki
tangan jepang, maka maknanya
menjurus ke hal yang tidak menyenangakan, perioratif. Kaki tangan musuh
bermakna orang yang berperan aktif membantu musuh Ataupun beberapa contoh lain
kata amplop, cucu tangan, dll.
g. Perubahan
Makna Akibat Asosiasi
Selametmuljana
(1964: 25) berkata,“yang dimaksud dengan asosiasi adalah hubungan antara makna
asli, makna di dalam lingkungan yang asli berpindah menjadi makna yang baru ke
dalam lingkungan tempat kata itu dipindah kedalam pemakaian bahasa. Misalkan
dengan mengatakan “ketika masa Jepang” maka saat iu akan mengingatkan pada
zaman penjajahan, pembunuhan, pemberontakan dan kesengsaraan.
h. Perubahan
Makna Akibat Perubahan Bentukri
Telah
diketahui wujud kata memperlihatkan aneka contoh seperti contoh dari leksem lompat. Leksem ini dapat Diturunkan menjadi kata: berlompatan, berlompat-lompat, dilompati,
dilompatkan, melompat-lompat, dll. Akibatnya dari perubahan betuk ini
menjadi perubahan makna, seperti contoh
makna akan berbeda jika seseorang berkata,”udang berlompatan dari perahu” yang berarti udang berlompat keluar dari
perahu, sedang “seseorang itu berlompat-lompat” tang bisa diartikan dia sedang
bergembira atau sedang melakukan suatu kegiatan.
i.
Keperluasan
Makna
Kata-kata
ibu, bapak, saudara, dahulu digunakan
untuk menyebut orang yang bertalian darah dengan kita. Kata saudara dihubungkan dengan kakak atau
adik yang seayah dan seibu. Kata bapak selalu
dihubungkan dengan orang tua laki-laki dan kata ibu untuk orang-tua perempuan. Kini kata bapak, ibu, saudara telah meluas maknanya, meskipun tidak ada
hubungan pertalian darah. Contohnya “saudara-saudara
yang saya hormati” dengan kata lain , kata-kata ini sebagai kata sapaan.
Adapun contoh kata yang telah meluas maknanya yaitu lahir,memancing, kandung, dll.
j.
Pembatasan Makna
Di
dalam pemakaian bahasa, sebuah kata dapat mengalami pembatasan makna. kata
tukang bermakna luas. Tetapi kalau seseorang mengatakan tukang besi, tukang kayu, tukang mas, tukang wesel, tukang las, dll.
Maka maknanya lebih terbatas, lebih menyempit. Makna yang diacu lebih terbatas
kepada bidang pekerjaan yang berkaitan dengan keterampilan orang yang
bersangkutan. Kalau seorang mengatakan tukang besi, maka yang dimaksud adalah
orang yang pekerjaannya menempa besi menjadi perkakas, misalnya menjadi parang,
pisau, pacul, dan perkakas lainnya.
k. Melemahkan
Makna
Dalam
kehidupan sehari-hari, sering kita dapat kenyataan bahwa makna kata tetap
dipertahankan meskipun lambangnya diganti. Maksud penggantian makna tersebut,
yakni ingin melemahkan agar orang yang dikenai kegiatan tidak tersinggung.
Misalnya, dalam BI terdapat kata dipecat,
misalnya dalam kalimat”Ia dipecat
karena sering terlambat”. Kata dipecat rasanya
terlalu dirasakan memukul atau menyindir bagi orang yang dipecat. Makna kata
itu kemudian dilemahkan menjadi suatu kata dengan urutan diperhentikan dengan hormat, Kadang-kadang digunakan kata dipensiunkan.
l. Kekaburan
Makna
Ketika
mendengar sebuah kata atau kalimat yang dismpaikan, kadang-kadang meragu
menerka makna yang terkandung didalamnya, hal inilah yang disebut dengan
kekaburan makna. Apakah penyebabnya timbulnya kekaburan ini yaitu kalimat
bersifat umum, kalimat atau kata tidak homogen, kurang akrabnya kata yang
digunakan dengan acuan misal demokrasi
politik. Kekaburan makna dapat dihindarkan dengan jalan menambah unsur,
baik unsur segmental maupun unsur supra segmental.
Penambahan
unsur segmental ialah menambah unsur berupa kata-kata : misalnya kata jagung , belum jelas. Tetapi kalau kata
ini di tambah unsurnya misalnya menjadi jagung
muda, biji jagung , jagung itu, maka makna kata ini lebih jelas. Sedang
penambahan suprasegmental dimaksud yaitu berupa jeda, nada, atau tekanan.
Misalnya kalimat Andi bapak Hemlan kabur,
kalau dilengkapi unsur
suprasegmental berupa jeda, maka makna tersebut menjadi lebih jelas. Kalimat , Andi, bapak, hemlan, kabur; bermakna
tiga orang yang kabur, tetapi kalimat, Andi!,
bapak Hemlan, kabur; maka hanya seorang yang kabur.
m. Lambang
Tetap, Acuan Berubah
Dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam perkembangan bahasa, kadang-kadang terdapat
lambang yang tetap, acuannya berubah. Urutan kata kereta api dahulu memang
dihubungkan dengan kereta yang benar-benar dijalankan dengan pertolongan api
atau kayu bakar. Kini, meskipun kereta api tidak dijalankan lagi dengan
menggunakan kayu bakar, makannya tetap, yakni kereta api, ataupun dapat diambil
contoh lain yaitu berupa layar, berlayar yang tetap
dipertahankan kata-katanya yaitu perahu
layar walaupun tidak lagi menggunakan layar.
n. Makna
Tetap, Lambang Berubah
Kata
menyelewengkan atau urutan kata menyalahgunakan wewenang, membuat penyimpangan, adalah kata atau
urutan kata untuk mengganti kata korupsi.
Apakah makna korupsi tidak sama dengan makna penyalahgunaan wewenang?
Kelihatannya sama. Jadi, disini terlihat makna tetap dipertahankan , hanya
lambang atau diganti atau dengan contoh lain, dalam BI ada kat menipu. Dewasa
ini muncul urutan kata pembelian fiktif,
pembayaran fiktif, penerimaan fiktif. Apakah kegiatan ini tidak termasuk
menipu? Ya, tentu tetap terlingkup pada makna menipu. Dengan kata lain, makna tetap namun lambang berubah atau
ganti.
C. KOMPONEN
MAKNA
Setiap
kata, leksem, atau butiran leksikal tentu mempunyi makna. makna yang dimiliki
oleh setiap kata itu terdiri dari jumlah komponen (yang disebut komponen
makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat
dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu persatu berdasarkan ”pengertian-pengertian”
yang dimilkinya.
Perhatikan
kata-kata berikut, orang akan mengatakan kata lompat! (dengan suara naik) tidak sama maknanya dengan kata melompat; kata lompatkan, dan tidak sama maknanya dengan kata berlompatan; kata lompat
tidak sama maknanya dengan kata melompat-lompat;
kata lompatan tidak sama maknanya
dengan kata lompatannya. Setiap kali
perubahan bentuk terjadi pula perubahan makna. walaupun demikian, tetaplah
terlihat makna inti. Misalnya kata melompat
yang makna intinya adalah orang, orangnya, orang yang melompat. Kata-kata
ini tidak menimbulkan sebuah bayangan orang yang melompat itu seperti apa,
tidak perlu membayangkan bagaimana dan seperti apa orang yang melompat. Akan berbeda
jika seseorang memikirkan kata pelompat,
dari kata inilah yang akan menimbulkan sederet pertanyaan, siapakah pelompat
itu, darimana asalnya, dll. Jika kita mendapatkan jawaban itu maka ada rasa
lega tersendiri karena sejatinya kita sudah mengetahui siapa pelompat tersebut.
Dari hal-hal yang seperti inilah maka akan diketahui mana makna inti dan mana
makna pelengkap karena setiap kata-kata, ada yang makna berdekatan, berjauhan,
ada yang mirip, ada yang sama, bahkan ada yang bertentangan. Untuk mengetahui
seberapa jauh hubungan itu maka perlu diketahui komponen makna dengan
menganalisis.
1. Pembeda
Makna
Pada
yang telah dicontohkan di atas mengenai kata melompat dikatakan bahwa ada makna dasar, makna dasar deretan
lompat tadi, adalah kegiatan, sedang pada masing-masing perubahan kata melompat, mengakibatkan perubahan makna
juga. Adanya pembeda makna sebab terjadi perbedaan bentuk, dan perubahan
bentuk, Perbedaan bentuk yang menyebabkan perbedaan makna, dan perubahan bentuk
mengakibatkan adanya hubungan makna. pembeda makna dapat dianalisis melalui
suatu bagan yang dapat menjelaskan dari masing-masing obyek yang akan dianalisis
sebab dari pembedanya walaupun sama-sama leksemnya. Seperti saya seorang anak
laki-laki dengan kakak akan berbeda walaupun kita sama-sama seoarng laki-laki,
baik berbeda dalam kesukaan atau dalam bentuk fisik.
2. Urutan
Hubungan Antara Komponen
Telah
dikatakan, meskipun kata–kata memiliki makna yang sama tetapi implikasinya
tentu tak selamanya sama. Sebagai contoh, ambillah kata menonton dan menjenguk,
dua kata yang sama-sama menggunakan mata sebagai melihat namun walau terdapat
kesamaan pada kegiatannya tetap tidak pantas jika di aplikasikan dalam suatu
kalimat ,“ saya menjenguk sepak bola kemaren ” atau “ saya menonton kakek yang
sedang sakit”.
3. Komponen
Penjelas
Hubungan
yang ada pada komponen, kadang-kadang masih kabur bagi pembicara atau
pendengar, untuk menjelaskan kepada pendengar biasanya menggunakan perluasan
kata atau komponennya ditambah. Misal, “adek jatuh dari pohon” ketika seorang
ibu mendengar kata-kata itu maka yang menjadi reaksi adalah menangis, pingsan,
ataupun mukanya berubah pucat karena kemungkinan tangannya atau kakinya yang akan
patah. Oleh sebab itu, maka adanya komponen penjelas dengan menambahi kata,
“adek jatuh dari pohon tapi dia baik-baik saja . dalam hal ini kegunaan dari
komponen penjelas yaitu agar tidak terjadi kesalah pahaman.
4. Langkah-Langkah
Menganalisis Komponen Diagnostik
Adapun langkah-langkah
dalam menganalisis komponen diagnosis :
1) Upaya
memilih sementara makna yang muncul dari jumlah komponen, contohnya marah, terdapat kata: memaki, mendongkol, menggerutu, mengoceh, meskipun
di dalamnya terdapat kata yang memiliki perbedaan yang kecil.
2) Mendaftarkan
ciri yang spesifik, misalkan kata ayah : maka carilah kata yang berhubungan
dengan ayah secara spesifik yang berhubungan langsung tentang ayah, bukan
secara umum tetapi mendetail.
3) Meneliti
bermacam-macam makna sebagai acuan, dan menetukan sifat mana yang tidak benar
untuk semuanya walaupun komponen bersifat sama sebagai suatu penggerak dalam
acuan tersebut.
4) Mengambil
diagnosa yang sama tetapi memiliki makna yang berebeda
5) Pengambilan
suatu kesimpulan berdasarkan analisis, bahwa pantas tidaknya obyek disebut
sebagaimana yang dibayangkan oleh si pelihat.
6) Mendiskripsikan
maknanya berdasarkan data yang kita susun dalam bentuk pohon agar dapat mengetahui
mana yang salah dan mana yang tidak salah.
5. Prosedur
Menganalisa Komponen Makna
1) Penamaan
yaitu melalui jenis, genus, bentuk, fisiologi maupun marfologi.
2) Memarafrasa,
yaitu dapat dikatakan intinya tanpa mempertimbanglan penunjang lainnya seperti berjalan, yang dapat disebut
berjalan-jalan atau tamasya.
3) Mendefinisi,
yaitu suatu cara memberikan nama pada sustu obyek berdasarkan
perincian-perincian yang ada yang tidak diketahui benar atau tidaknya definisi
tersebut.
4) Mengklasifikasi,
yaitu proses menggabungkan genus atau
kelas, dalam penglompokan nama.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul. 2007. Linguistik Umum.Jakarta:
PT Renika Cipta
Pateda,
Mansoer. 2010. Semantika Leksikal. Jakarta
: PT Renika Cipta
Suwito.
1986. Sosiolinguis