SEMANGAT BELAJAR: April 2015

Saturday 18 April 2015

HADIST SALAM (hadist ekonomi)



A.      Pengertian Salam
Salam (salaf) secara etimologi artinya pendahuluan dan secara muamalah adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai persyaratan jual beli dan barang yang dibeli masih dalam tanggungan penjual, dimana syaratnya adalah mendahulukan pembayaran pada saat akad.
As-Salam (Salaf) adalah Pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan dimuka.
B.       Hadis Salam
 
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ    وَسَلَّمَ  الْمَدِ يْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِيْ الثَّمَارِ لسَّنَةَ  وَالسَّنَتَيْنِ
 وَالثَّلَاثِ  فَقَالَ  مَنْ أَسْلَفَ  فِيْ  تَمْرٍ فَلْيَسْلِفُ  فِيْ  كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ  وَوَزْنٍ  مَعْلُوْمٍ  إِلَى  أَجَلٍ  مَعْلُوْمٍ

“Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Saw tiba di Madinah, sedang orang biasa melakukan salaf dalam buah-buahan selama satu tahun, dua tahun dan tiga tahun. Maka beliau bersabda,‘Barang siapa melakukan salaf dalam sesuatu, maka hendaklah dia melakukannya dengan timbangan tertentu, takaran tertentu dan sampai waktu tertentu’.” (HR Bukhari-Muslim)


Hadist diatas muncul sebagai reaksi Rosulullah Saw. terhadap kebiasaan orang madinah yang melakukan jual beli salam dalam waktu satu atau dua tahun. Koreksian diberikan oleh Rosulullah Saw. dalam hadis terhadap ketidakjelasan waktu penyerahan barang, atau pada spesifikasi barang yang diperjualbelikan dari segi ukuran dan kualitasnya.
Jual beli salam merupakan jual beli yang mempunyai potensi bagi penjual untuk melakukan penipuan baik dari segi kualitas, kuantitas ataupun waktu. Oleh sebab itu Rosulullah Saw memberikan aturan khusus tentang masalah ini. Ini bertujuan agar pihak-pihak yang bertransaksi tidak saling merugikan dan untuk menghindari terjadinya sengketa antara keduanya.
Dalam hadis diatas, jual beli salam merupakan model jual beli yang sudah biasa dipraktikan oleh masyarakat Madinah sebelum Islam masuk kesana. Islam menerima model jual beli tersebut dengan syarat. Hal itu terlihat dari koreksian Islam terhadap kebiasaan orang Madinah.
Meskipun ada larangan Rosulullah Saw tentang menjual sesuatu yang tidak ada dalam kepemilikan, tidak bertentangan dengan posisi salam, karena jual beli salam tidak menjual sesuatu yang tidak dimiliki, tetapi menjual sesuatu yang belum/tidak ada pada saat transaksi dilakukan, sementara kriteria atau spesifikasi barang, jenis kualitas dan kuantitasnya sangat jelas. Jadi sama dengan jual beli biasa, yang waktu penyerahan bendanya ditangguhkan dalam waktu tertentu
            C.      Perawi Hadist
a.    Imam Bukhari
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin al-Mughirah bin Bardzba al-Jufi al-Bukhari atau lebih dikenal Imam Bukharilahir pada tanggal 13 syawal 194 H (21 juli 810 M) di Bukhara, Uzbekistan Asia Tengah dan wafat pada 31 agustus 870 M.
 beliau merupakan ahli hadis yang termasyhur diantara para ahli hadis sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud Tirmizi, An-nasai dan ibnu mayah bahkan dalam kitab fikih dan hadis. Hadist-hadist beliau memiliki derajat yang tinggi sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil hadist (pemimpin kaum mukminin dalam hal hadis) dalam hal ini ulama dunia merujuk kepadanya.
Al-Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi atau lebih dikenal dengan Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H dan meninggal dunia Ahad bulan Rajab tahun 261 H dan dikuburkan di Nasia buri.
Beliau juga sudah mempelajari hadis sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al-Bukhari dan ulama lain selain mereka.  Orang yang menerima hadis dari beliau ini, termasuk tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa tulisan yang bermutu dan bermanfaat. karya beliau yang paling dikenal adalah Shahih Muslim.

            D.      Kandungan Hadis
Disyaratkan dalam salam apa yang disyaratkan dalam jual beli karena salam merupakan salah satu jenis jual beli. Apa yang disepakati harus dari hal-hal yang diperbolehkan, harus ada keridhaan, barang yang dijadikan obyek salam harus berupa barang yang memang boleh dijual, harus ada kemampuan membayar ketika tiba waktu pembayaran, harga dan barang harus benar-benar diketahui.
Disamping syarat-syarat ini, ada tambahan syarat dalam salam, yaitu kembali kepada tambahan batasan dan kebebasan, agar tidak menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Beberapa kandungan dari hadis tersebut:
1.    Harus dijelaskan ukuran barang yang diserahkan sebagai salam berdasarkan takaran atau timbangan yang diakui syariat, kalau memang barangnya dapat ditimbang atau ditakar atau diukur kalau memang termasuk barang yang harus diukur, atau dihitung jika merupakan barang yang dihitung, selagi tidak ada perbedaan yang mencolok antara yang besar dan yang kecil atau ukuran lainnya untuk barang yang dihitung.
2.    Waktunya harus jelas sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli.
3.    Pembayaran harga harus dilaksanakan ditempat pelaksanaan akad (dibayar dimuka)
4.    Harus ada jaminan. Inilah yang memungkinkan dilaksanakannya akad, meskipun pemenuhannya berasal dari sesuatu yang belum ada ditangan penjual, karena dia akan memenuhinya dari buah-buahan atau hasil panen yang belum ada saat dilaksanakannya akad.
5.    Jual beli salam merupakan jual beli yang sudah ada semenjak masa pra Islam, Islam memberikan koreksian terhadap tata cara melakukannya
6.    Dalam jual beli salam harus jelas spesifikasinya barang yang diperjualbelikan, sehingga jenis, ukuran, kualitas, kuantitas dan harga serta waktu penyerahan barang sudah jelas bagi kedua belah pihak
7.    Ada keuntungan yang terdapat dalam jual beli salam, baik dalam modal usaha, dan pemenuhan keinginan pembeli sesuai dengan model, ukuran dan bahan. Disamping itu, tidak ada barang yang tidak laku dijual, karena barang dijual berdasarkan pesanan.


DAFTAR PUSTAKA

Enizar, Hadis Ekonomi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)         
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011)
Mardani,  Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Muhammad Syafi’i Antonio,  Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani  Pers 2001)

Sunday 12 April 2015

ILMU LINGUISTIK (SEMANTIK)


Dalam berbagai hal seputar linguistik tentang objek studinya, makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik.  Tentu harus di ingat bahwa status tataran semantik dengan tataran, fenologi, marfologi, dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut wacana, dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa, satuan klausa dibangun oleh frase, satuan frase di bangun oleh kata; satuan frase di bangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem dan satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi. Dari bangun membangun ini, makna semantik dengan objeknya berada di seluruh atau semua tataran fonologi, marfologi dan sintaksis. Pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris, sebagaiman sub sistem gramatika (morfologi dan sintaksis). Demikian juga dengan Comsky, bapak linguistik transformasi, dalam bukunya yang pertama (1957) tidak menyinggung-nyinggung masalah makna. Baru dalam bukunya yang kedua (1965) beliau menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik karena dari komponen inilah, makna atau suatu arti dapat digali dan di ketahui sebagai pembahasan dalam penyampaian suatu objek secara keseluruhan, sehingga kerumitan dalam semantik seperti yang sudah diketahui arti sebelumnya, perlu adanya teori yang baik dalam mengartikan sebuah objek lambang, bunyi ataupun bahasa dalam menyimpulkan arti yang sebenarnya sedang benar-benar di tuju. Dapat diartikan Semantik merupakan suatu unsur yang kehadirannya pada setiap tatarannya bersifat tidak selalu sama.
1.      SEMANTIK
Memiliki beberapa arti yaitu semantik menurut bahasa Inggrisnya semantics, dan semantique dalam bahasa perancis, kata sifatnya semantic (bahasa Grik: semion = ‘mark, sign,, tanda’). Kita dapat membicarakan suatu keadaan sebagai suatu kemampuan manusia untuk melihat  gejala yang ada pada alam melalui fisik/bentuk, phisis, dan simbol-simbol tertentu. Berkomunikasi pada hakekatnya pendayagunaan simbol-simbol tertentu yang digunakan dan disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berkomunikasi. Dalam berkomunikasi maka memiliki suatu bentuk bahasa yang diartikan suatu sistem dari bentuk-bentuk yang dipakai untuk menyampaikan arti yang berkaitan erat dengan kondisi-kondisi sekitar pemakainya, dan makna dari bahasa erat kaitannya siapa yang berkata di mana, sedang apa, kapan dan bagaimana. Hubungan antara benda (obyek) dan simbol linguistik inilah (kata, frase,dan kalimat) yang menjadi obyek studi semantik.

A.    PENGERTIAN MAKNA

         Makna itu ada dibalik kata. Kata semantik adalah kata-kata yang pengelompokannya didasarkan pada arti.  Kata luas dan besar misalnya adalah dua kata leksis (makna yang sebenarnya) yang berbeda tetapi mengacu pada satu semantik yang sama. Contohnya adalah kata luas dan besar yang memiliki satu artian yang menuju pada satu obyek yang sama.
Persoalan makna merupakan kehidupan yang menarik dalam kehidupan sehari-hari. Reklame yang di pasang di tepi jalan yang bertuliskan lezzzat, akan sangat sulit dipahami jika si pembaca tidak segera menyadari yang dimaksud tulisan itu adalah lezat, sedap, enak. Begitupun jika seorang yang berbudaya Jawa berkata kepada seorang yang berbudaya Gorontalo, “Mari, Pak!” orang Gorontalo yang mendengar kata itu langsung berdiri dan karena orang jawa tersebut mengendarai sepedah ia naik membonceng. Orang yang berbudaya Jawa terkejut dan bertanya, “ Bapak mau kemana?” dijawab oleh si gorontalo, “ Bapak kan mengatakan mari pak.” Orang Gorontalo tersebut mengira ia diajak; padahal urutan kata mari pak bagi yang berbudaya jawa merupakan ungkapan untuk meminta izin lewat. Kasus-kasus tersebut merupakan sebagian dari yang ada, memperlihatkan adanya beban yang terdapat dalam kata-kata yang digunakan , yakni makna. Oleh karena itu soal makna yang seperti inilah nantinya yang akan dibahas dalam objek makna semantik.
Istilah makna ( meaning ) merupakan kata dan istilah yang membingungkan, tetapi yang lebih dekat dari makna yaitu dengan kata. Sering kita ucapkan ketika kita bingung, apa artinya kata ini, apa arti kalimat itu, dan lainnya. Banyak teori yang di kemukakan orang, dan sebagai contohnya kita ikuti saja pandangan Ferdinantde Saussure dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan”, yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian). Umpamanya tanda linguistik ditampilkan dalam bentuk ortografis, <Meja> yang terdiri dari komponen signifian, yakni berupa runtutan fonem /m/,/e/,/j/ dan /a/; lalu komponen signifienya berupa konsep atau makna ‘sejenis perabotan kantor atau rumah tangga’. Tanda linguistik ini merupakan bagian runtutan fonem dan konsep yang runtutan  fonemnya mengacu pada sebuah referen yang berada di luar bahasa, yaitu “sebuah meja”. Dengan demikian dari analisis teori tersebut di kembangkan menjadi sebuah pandangan bahwa, makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki yang terdapat pada sebuah tandalinguistik. Tanda linguistik berwujud dari identitas kata yang dipergunakan atau sebuah objek yang akan di jadikan sampel, jika yang dibahas adalah tentang Kata maka maknanya pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem; begitupun pembahasan untuk morfem, dan lainnya. Lihat Kridalaksana (1989), misalnya, yang menyatakan setiap tanda-bahasa sebagai pananda tentu mengacu pada suatu yang ditandai petanda, karena adanya penanda maka akan mempunyai petanda.
Di dalam sebuah buku telah dikumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bagi orang awam, untuk memahami makna kata tertentu, ia dapat mencari arti dalam kamus sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut makna leksikal (artinya masih sempit sedang pada kenyataanya memiliki makna yang luas). Itu sebabnya terkadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di dalam kamus. Hal-hal yang seperti ini akan muncul jika orang bertemu atau berhadapan dengan idiom, gaya bahasa,  pribahasa, metafora, dan ungkapan.
Di dalam kehidupan sehari-hari kadang orang membaca atau mendengar kata atau kalimat yang menggunakan bahasa yang bukan bahasanya seperti keseharian. Di sini bukan hanya saja berhadapan dengan persoalan makna kata, tetapi juga persoalan mengalihbahasakan. Dengan kata lain, orang tadi berurusan dengan istilah teknis untuk setiap kata yang selanjutnya mengalihbahasakan ke dalam bahasanya sendiri, misalnya orang Gorontalo mendengar kata cat dalam bahasa inggris. Orang awam akan akan membuka kamus Inggris-Indonesia untuk mencari makna kata cat. Di dalam kamus di temukan entri cat dengan arti kucimg dalam BI. Dalam proses ini pertamanya orang Gorontalo tadi belum berhadapan dengan makna kata cat, tetapi baru berhadapan dengan padanannya/ hanya artinya belum pada maknanya. Lalu padanan kata kucing tadi dialihkan bahasa ke dalam bahasa Gorontal sedang di bahasa Gorontalo terdapat kata ­tete  yanng berarti kucing dalam BI dan berpadanan dengan kata cat dalam bahasa inggris. Orang awam tadi memahami makna kata cat melewati dari kata kucing. Orang yang mengerti bahasa Inggris, dari kata cat ia langsung memahami maknanya tanpa melalui kata kucing atau kata tete. Langsung terbayang padanya besarnya kucing, bulunya, warna bulunya, cara menangkap mangsa. Tentu saja kucing yang sudah ada dalam pengalamannya adalah kucing yang ia kenal atau ia ketahui,  sehingga belum tentu apa yang di terakan  pada kamus ataupun yang di pikirkan pada orang Gorontalo tadi sama dengan objek yang di tuju pada kenyataan yang sebenarnya. Itu sebabnya dikatakan istilah makna merupakan istilah yang membingungkan, kadang-kadang makna yang ada dalam lambang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Pada beberapa tokoh yang telah diketahui seperti C.K. Ogden dan I.A. Richards dan de Saussure menggunakan sebuah bagan dalam menggambarkan sebuah petak semantik.

B.     PERUBAHAN MAKNA

Bahasa berkembang seiring berkembangnya pula pemikiran manusia dalam pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa diwujudkan dalam bentuk kata-kata dan kalimat yaitu berupa penambahan maupun pengurangan. Pengurangan yang di maksud di sini bukan saja pengurangan dalam kuantitas kata, tetapi juga yang berhubungan dengan kualitas kata. Dan jika berbicara tentang kualitas kata maka ini akan berhubungan dengan makna. Dikemukakan bahwa bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Karena manusia menggunakan kata dan kalimat dan sejalan dengan itu kata dan kalimat berubah terus, maka dengan sendirinya maknanya pun berubah. Hal ini terjadi karena manusia membutuhkan kata untuk dapat menyusun kalimat dalam berkomunikasi, yaitu membutuhkan kata baru. Kadang-kadang karena belum ditemukan kata baru untuk mendukung pemikirannya, maka pembicara mengubah bentuk kata yang telah ada, atau boleh jadi mengubah makna kata yang telah ada untuk dapat dijadikan alat dalam penambahan referensi kata yang telah ada. Yang  terpenting, yaitu apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, dan apa yang diinginkan tertampung dalam penggunaan bahasa. Perubahan makna mencangkup banyak hal yaitu berupa pelemahan, pembatasan, penggantian, penggeseran, perluasan, dan juga kekaburan makna.[4] Perubahan makna tersebut bisi saja terjadi karena perubahan kata dari bahasa lain, termasuk dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Perubahan makna dapat terjadi juga karena akibat dari pertukaran tanggapan indera contohnya patah hati, ataupun perubahan lingkungan yang mengandung unsur baru yang harus dijelaskan secara mendetail.
a.       Faktor Yang Menyebabkan Perubahan Makna
Telah dikemukakan di depan bahwa makna dapat berubah dalam perjalanan kata sebagai alat komunikasi manusia, yaitu hal ini terjadi karena :
·         Kebetulan, makna terjadi karena kebetulan. Misalnya kata rawan. Dahulu kata rawan selalu dihubungkan dengan tulang, menjadi tulang rawan. Kata rawan bermakna muda, lembut. Kini kata rawan sudah berubah maknanya. Makna kata rawan sering banyak di hubungkan dengan kekurangan, misalnya dalam urutan kata rawan pangan; atau dihubungkan dengan mudah menimbulkan gangguan keamanan, sehingga muncul urutan kata rawan perampokan, atau rawan pencurian,  masih banyak yang lainnya.
·         Kebutuhan baru. Misalnya dahulu kata berlayar bermakna menggunakan perahu layar untuk bepergian melalui laut. Kata berlayar kini tetap digunakan tetapi maknanya berubah. Maksudnya bukan bepergian menggunakan perahu layar lagi tetapi bepergian dengan kapal laut.
·         Tabu, kata itu tabu dikatakan karena makna yang terkandung pada kata itu tidak senonoh dilafalkan seperti dalam BI terdapat kata kakus. Karena makna ini tabu dan tidak sopan jika dikatakan didepan oarng banyak maka digantilah dengan kamar belakang atau kamar kecil. Makna kamar belakang atau kamar kecil secara harfiah tidak sama dengan kata . Namun pemakai BI sudah memahami kalau seseorang menanyakan hal ini maka makna yang dimaksud adalah kakus, toilet, atau WC.
     Dalam hubungan dengan perubahan makna, Ullmann (1972:198-210) menyebutkan beberapa hal sebagai penyebabnya Hal-hal itu meliput:
1)      Faktor kebahasaan, perubahan makna karena faktor-faktor kebahasaan berhubungan dengan fonologi, marfologi, dan sintaksis. Misal kata bermain diubah menjadi bermain-main, maka maknanya berubah.
2)      Faktor kesejarahan, perubahan makna karena faktor kesejarahan berhubungan dengan perkembangan kata. Misalnya kata wanita yang sebenarnya berasal dari kata betina, yang berkembang menjadi batina, lalu fonem b berubah menjadi w.
3)      Faktor sosial, perubahan makna yang disebabkan oleh faktor perkembangan makna dalam masyarakat. Misalnya, kata gerombolan yang pada mulanya bermakna orang yang berkumpul atau kerumunan orang namun kata ini mulai tidak disukai sebab selalu dihubungkan pada pemberontakan atau pengacau bahkan kata ini enggan digunakan.
4)      Faktor psikologis, berkaitan dengan kata tabu. Misalnya kata makan  diganti dengan kata bersantap kata makan diganti dengan kata mencicipi bermakna merasakan apakah bumbunya sudah memadai atau belum; padahal yang di maksud sesorang itu sedang makan.
5)      Pengaruh bahasa asing, misalnya documentatie (dokumentasi); incident (insiden).
6)      Karena kebutuhan kata yang baru, misalnya karena bangsa Indonesia merasa kurang enak menggunakan kata saudara,  maka munculah kata anda. Kata saudara pada mulanya dihubungkan dengan orang yang seibu dan seayah kita, kini kata saudara digunakan untuk siapa saja.
b.      Perubahan makna dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia
Telah diketahui bahwa di Indonesia terdapat tiga kelompok bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Misalnya, kata  gembleng dalam bahasa Jawa yang munculkan kata tergembleng, digembleng, barmakna menjadi satu, dipersatukan. Dalam BI kata menggembleng yang diturunkan dari leksem gembleng, bermakna melatih dan mendidik supaya berpendirian kuat dan berhati teguh. Adapun contoh lainnya, semangat yang dikaitkan dengan rahasia laki-laki. Itu sebabnya orang medan akan tersenyum jika ada orang yang menyatakan “Marilah kita mengobarkan semangat mengisi kemerdekaan” Kata semangat dalam BI bermakna: roh kehidupan yang menjiwai segala makhluk yang dapat memberikan suatu motivasi atau kekuatan. Hal ini lah yang dapat menambah daftar makna kata yang berubah dari bahasa daerah tertentu ke BI. Pada suatu daerah maknanya X tetapi pada BI bermakna Y.
c.       Perubahan Makna Akibat Perubahan Lingkungan
Bahasa yang digunakan pada lingkungan masyarakat tertentu belum tentu sama maknanya dengan makna kata yang digunakan di lingkungan  masyarakat lain. Misalnya kata cetak, bagi mereka yang bergerak dipersuratkabaran, kata cetak selalu dihubungkan dengan kata tinta, huruf, dan kertas. Tetapi bagi tukang bata, kata cetak biasanya dikaitkan dengan kegiatan membuat batu bata, mencetak batu bata pada cetakannya. Sedang bagi petani, kata mencetak biasanya dikaitkan dengan usaha membuka lahan baru.
Masih dengan leksem cetak yang menurunkan kata lain, tetapi masih menghubungkan leksem cetak, memperlihatkan makna yang berbeda karena lingkungan yang berbeda dengan kata lain makna berubah jika terjadi lingkungan pemakaian.
d.      Perubahan Makna Akibat Pertukaran Tanggapan Indra
Telah diketahui bahwa indera manusia meliputi indera penciuman, indera pendengaran, indera penglihatan, indera peraba, dan indera perasa. Masing-masing  indera menimbulkan kelompok kata yang dapat dimanfaatkan oleh pemakai bahasa. Indera penciuman menghasilkan kelompok kata busuk, harum; indera pendengaran menghasilkan kata keras, lembut, merdu; indera penglihatan menimbulkan kata gelap, jelas, kebur, terang; indera peraba menimbulkan kata halus, kasar; sedang indera perasa menghasilkan kata benci, jengkel, iba, kasihan, rindu, sedih. Perubahan makna akibat pertukaran indera, disebut sinestesi (kata Yunani : sun = sama dan aesthetikos = tampak). Pertukaran indera dimaksud, misalnya indera pendengaran dengan indera penglihatan, indera perasa ke indera penglihatan. Misal kata terang berhubungan dengan indera penglihatan, tetapi kalau orang berkata “suaranya terang” maka hal ini berhubungan dengan pendengaran. Contoh ini memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan makna akibat pertukaran tanggapan indera. Perubahan ini kebanyakan terarah keperubahan bermakna kias.
e.       Perubahan Makna Akibat Gabungan Leksem Atau Kata
Sebelumnya biasa telah mendengar kata surat. Maknanya telah di ketahui bahkan sering mengirim surat pada ibu, bapak, atau kenalan. Dihubungkan dengan pemakaian bahasa, kata surat ternyata dapat dihubungkan atau digabungkan dengan kata yang lain, dan tentu saja maknanya akan berubah. Orang mengenal surat jalan, surat jual beli, surat kaleng, surat keterangan, surat perintah, surat permohonan, surat sakit, dan surat tamat belajar. Sehingga suatu kata atau leksem jika digabungkan maka maknanya akan menjadi berubah.
f.       Perubahan Makn Akibat Tanggapan Pemakai Bahasa
Makna ini terdiri dari dua hal yang menjurus yaitu hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. Makna hal yang menjurus ke hal yang menyenangkan, disebut makna amelioratif, sedang makna yang menjurus ke hal yang  tidak menyenangkan, disebut makna perioratif
Urutan kata kaki tangan dahulu bermakna anggota badan, yakni kaki dan tangan.[6] Maknanya bersifat menyenangkan, jadi amelioratif. Dengan munculnya urutan kata kaki tangan musuh, kaki tangan belanda, kaki tangan jepang,  maka maknanya menjurus ke hal yang tidak menyenangakan, perioratif. Kaki tangan musuh bermakna orang yang berperan aktif membantu musuh Ataupun beberapa contoh lain kata amplop, cucu tangan, dll.
g.      Perubahan Makna Akibat Asosiasi
Selametmuljana (1964: 25) berkata,“yang dimaksud dengan asosiasi adalah hubungan antara makna asli, makna di dalam lingkungan yang asli berpindah menjadi makna yang baru ke dalam lingkungan tempat kata itu dipindah kedalam pemakaian bahasa. Misalkan dengan mengatakan “ketika masa Jepang” maka saat iu akan mengingatkan pada zaman penjajahan, pembunuhan, pemberontakan dan kesengsaraan.
h.      Perubahan Makna Akibat Perubahan Bentukri
Telah diketahui wujud kata memperlihatkan aneka contoh seperti contoh dari leksem lompat. Leksem ini dapat Diturunkan menjadi kata: berlompatan, berlompat-lompat, dilompati, dilompatkan, melompat-lompat, dll. Akibatnya dari perubahan betuk ini menjadi perubahan makna,  seperti contoh makna akan berbeda jika seseorang berkata,”udang berlompatan dari perahu” yang berarti udang berlompat keluar dari perahu, sedang “seseorang itu berlompat-lompat” tang bisa diartikan dia sedang bergembira atau sedang melakukan suatu kegiatan.
i.        Keperluasan Makna
Kata-kata ibu, bapak, saudara, dahulu digunakan untuk menyebut orang yang bertalian darah dengan kita. Kata saudara dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah dan seibu. Kata bapak selalu dihubungkan dengan orang tua laki-laki dan kata ibu untuk orang-tua perempuan. Kini kata bapak, ibu, saudara telah meluas maknanya, meskipun tidak ada hubungan pertalian darah. Contohnya “saudara-saudara yang saya hormati” dengan kata lain , kata-kata ini sebagai kata sapaan. Adapun contoh kata yang telah meluas maknanya yaitu lahir,memancing, kandung, dll.
j.        Pembatasan Makna
Di dalam pemakaian bahasa, sebuah kata dapat mengalami pembatasan makna. kata tukang bermakna luas. Tetapi kalau seseorang mengatakan tukang besi, tukang kayu, tukang mas, tukang wesel, tukang las, dll. Maka maknanya lebih terbatas, lebih menyempit. Makna yang diacu lebih terbatas kepada bidang pekerjaan yang berkaitan dengan keterampilan orang yang bersangkutan. Kalau seorang mengatakan tukang besi, maka yang dimaksud adalah orang yang pekerjaannya menempa besi menjadi perkakas, misalnya menjadi parang, pisau, pacul, dan perkakas lainnya.
k.      Melemahkan Makna
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dapat kenyataan bahwa makna kata tetap dipertahankan meskipun lambangnya diganti. Maksud penggantian makna tersebut, yakni ingin melemahkan agar orang yang dikenai kegiatan tidak tersinggung. Misalnya, dalam BI terdapat kata dipecat,  misalnya dalam kalimat”Ia dipecat karena sering terlambat”. Kata dipecat rasanya terlalu dirasakan memukul atau menyindir bagi orang yang dipecat. Makna kata itu kemudian dilemahkan menjadi suatu kata dengan urutan diperhentikan dengan hormat, Kadang-kadang digunakan kata dipensiunkan.
l.       Kekaburan Makna
Ketika mendengar sebuah kata atau kalimat yang dismpaikan, kadang-kadang meragu menerka makna yang terkandung didalamnya, hal inilah yang disebut dengan kekaburan makna. Apakah penyebabnya timbulnya kekaburan ini yaitu kalimat bersifat umum, kalimat atau kata tidak homogen, kurang akrabnya kata yang digunakan dengan acuan misal demokrasi politik. Kekaburan makna dapat dihindarkan dengan jalan menambah unsur, baik unsur segmental maupun unsur supra segmental.
Penambahan unsur segmental ialah menambah unsur berupa kata-kata : misalnya kata jagung , belum jelas. Tetapi kalau kata ini di tambah unsurnya misalnya menjadi jagung muda, biji jagung , jagung itu, maka makna kata ini lebih jelas. Sedang penambahan suprasegmental dimaksud yaitu berupa jeda, nada, atau tekanan. Misalnya kalimat Andi bapak Hemlan kabur,  kalau dilengkapi unsur suprasegmental berupa jeda, maka makna tersebut menjadi lebih jelas. Kalimat , Andi, bapak, hemlan, kabur; bermakna tiga orang yang kabur, tetapi kalimat, Andi!, bapak Hemlan, kabur; maka hanya seorang yang kabur.
m.    Lambang Tetap, Acuan Berubah
Dalam kehidupan sehari-hari dan dalam perkembangan bahasa, kadang-kadang terdapat lambang yang tetap, acuannya berubah. Urutan kata kereta api dahulu memang dihubungkan dengan kereta yang benar-benar dijalankan dengan pertolongan api atau kayu bakar. Kini, meskipun kereta api tidak dijalankan lagi dengan menggunakan kayu bakar, makannya tetap, yakni kereta api, ataupun dapat diambil contoh lain yaitu berupa  layar, berlayar  yang tetap dipertahankan kata-katanya yaitu perahu layar walaupun tidak lagi menggunakan layar.
n.      Makna Tetap, Lambang Berubah
Kata menyelewengkan atau urutan kata menyalahgunakan wewenang, membuat penyimpangan, adalah kata atau urutan kata untuk mengganti kata korupsi. Apakah makna korupsi tidak sama dengan makna penyalahgunaan wewenang? Kelihatannya sama. Jadi, disini terlihat makna tetap dipertahankan , hanya lambang atau diganti atau dengan contoh lain, dalam BI ada kat menipu. Dewasa ini muncul urutan kata pembelian fiktif, pembayaran fiktif, penerimaan fiktif. Apakah kegiatan ini tidak termasuk menipu? Ya, tentu tetap terlingkup pada makna menipu. Dengan kata lain, makna tetap namun lambang berubah atau ganti.

C.     KOMPONEN MAKNA


        Setiap kata, leksem, atau butiran leksikal tentu mempunyi makna. makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari jumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri, atau disebutkan satu persatu berdasarkan ”pengertian-pengertian” yang dimilkinya. 
       Perhatikan kata-kata berikut, orang akan mengatakan kata lompat! (dengan suara naik) tidak sama maknanya dengan kata melompat; kata lompatkan, dan tidak sama maknanya dengan kata berlompatan; kata lompat tidak sama maknanya dengan kata melompat-lompat; kata lompatan tidak sama maknanya dengan kata lompatannya. Setiap kali perubahan bentuk terjadi pula perubahan makna. walaupun demikian, tetaplah terlihat makna inti. Misalnya kata melompat yang makna intinya adalah orang, orangnya, orang yang melompat. Kata-kata ini tidak menimbulkan sebuah bayangan orang yang melompat itu seperti apa, tidak perlu membayangkan bagaimana dan seperti apa orang yang melompat. Akan berbeda jika seseorang memikirkan kata pelompat, dari kata inilah yang akan menimbulkan sederet pertanyaan, siapakah pelompat itu, darimana asalnya, dll. Jika kita mendapatkan jawaban itu maka ada rasa lega tersendiri karena sejatinya kita sudah mengetahui siapa pelompat tersebut. Dari hal-hal yang seperti inilah maka akan diketahui mana makna inti dan mana makna pelengkap karena setiap kata-kata, ada yang makna berdekatan, berjauhan, ada yang mirip, ada yang sama, bahkan ada yang bertentangan. Untuk mengetahui seberapa jauh hubungan itu maka perlu diketahui komponen makna dengan menganalisis.
1.      Pembeda Makna
Pada yang telah dicontohkan di atas mengenai kata melompat dikatakan bahwa ada makna dasar, makna dasar deretan lompat tadi, adalah kegiatan, sedang pada masing-masing perubahan kata melompat, mengakibatkan perubahan makna juga. Adanya pembeda makna sebab terjadi perbedaan bentuk, dan perubahan bentuk, Perbedaan bentuk yang menyebabkan perbedaan makna, dan perubahan bentuk mengakibatkan adanya hubungan makna. pembeda makna dapat dianalisis melalui suatu bagan yang dapat menjelaskan dari masing-masing obyek yang akan dianalisis sebab dari pembedanya walaupun sama-sama leksemnya. Seperti saya seorang anak laki-laki dengan kakak akan berbeda walaupun kita sama-sama seoarng laki-laki, baik berbeda dalam kesukaan atau dalam bentuk fisik.
2.      Urutan Hubungan Antara Komponen
Telah dikatakan, meskipun kata–kata memiliki makna yang sama tetapi implikasinya tentu tak selamanya sama. Sebagai contoh, ambillah kata menonton dan menjenguk, dua kata yang sama-sama menggunakan mata sebagai melihat namun walau terdapat kesamaan pada kegiatannya tetap tidak pantas jika di aplikasikan dalam suatu kalimat ,“ saya menjenguk sepak bola kemaren ” atau “ saya menonton kakek yang sedang sakit”.
3.      Komponen Penjelas
Hubungan yang ada pada komponen, kadang-kadang masih kabur bagi pembicara atau pendengar, untuk menjelaskan kepada pendengar biasanya menggunakan perluasan kata atau komponennya ditambah. Misal, “adek jatuh dari pohon” ketika seorang ibu mendengar kata-kata itu maka yang menjadi reaksi adalah menangis, pingsan, ataupun mukanya berubah pucat karena kemungkinan tangannya atau kakinya yang akan patah. Oleh sebab itu, maka adanya komponen penjelas dengan menambahi kata, “adek jatuh dari pohon tapi dia baik-baik saja . dalam hal ini kegunaan dari komponen penjelas yaitu agar tidak terjadi kesalah pahaman.
4.      Langkah-Langkah Menganalisis Komponen Diagnostik
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis komponen diagnosis :
1)      Upaya memilih sementara makna yang muncul dari jumlah komponen, contohnya marah, terdapat kata: memaki, mendongkol, menggerutu, mengoceh, meskipun di dalamnya terdapat kata yang memiliki perbedaan yang kecil.
2)      Mendaftarkan ciri yang spesifik, misalkan kata ayah : maka carilah kata yang berhubungan dengan ayah secara spesifik yang berhubungan langsung tentang ayah, bukan secara umum tetapi mendetail.
3)      Meneliti bermacam-macam makna sebagai acuan, dan menetukan sifat mana yang tidak benar untuk semuanya walaupun komponen bersifat sama sebagai suatu penggerak dalam acuan tersebut.
4)      Mengambil diagnosa yang sama tetapi memiliki makna yang berebeda
5)      Pengambilan suatu kesimpulan berdasarkan analisis, bahwa pantas tidaknya obyek disebut sebagaimana yang dibayangkan oleh si pelihat.
6)      Mendiskripsikan maknanya berdasarkan data yang kita susun dalam bentuk pohon agar dapat mengetahui mana yang salah dan mana yang tidak salah.
5.      Prosedur Menganalisa Komponen Makna
1)      Penamaan yaitu melalui jenis, genus, bentuk, fisiologi maupun marfologi.
2)      Memarafrasa, yaitu dapat dikatakan intinya tanpa mempertimbanglan penunjang lainnya seperti berjalan, yang dapat disebut berjalan-jalan atau tamasya.
3)      Mendefinisi, yaitu suatu cara memberikan nama pada sustu obyek berdasarkan perincian-perincian yang ada yang tidak diketahui benar atau tidaknya definisi tersebut.
4)      Mengklasifikasi, yaitu  proses menggabungkan genus atau kelas, dalam penglompokan nama.




DAFTAR PUSTAKA


Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum.Jakarta: PT Renika Cipta
Pateda, Mansoer. 2010. Semantika Leksikal. Jakarta : PT Renika Cipta
Suwito. 1986. Sosiolinguis