BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang sudah dijaga
keasliannya. Hal ini berbeda dengan tafsirnya, atas paksaan perkembangan ilmu
pengetahuan yang sangat pesat, maka tidak dipungkiri lagi semakin luas pula
penafsiran terhadap Al- Qur’an,dan juga akan semakin banyak orang yang berusaha
menafsirkannya dengan mementingkan sikap egoismenya tanpa memperhatikan
kebenaran yang mutlak. Di antara kita ada yang beranggapan bawa buku tafsir al
Quran adalah buku suci. Mereka lupa bahwa para mufassir yang menyusun
kitab-kitab tafsir itu adalah juga manusia biasa yang tidak luput dari salah
dan dosa. Tafsir adalah bidang kajian yang sangat terbuka dan
luas untuk diijtihadkan. Maka hal ini tidak menutup kemungkinan bagi para
mujtahid dalam menuangkan buah pikirannya dalam sebuah media yang sangat
strategis tersebut.Para misionaris dan orientalis yang culas juga banyak
menyelipkan hal-hal yang menyesatkan dalam penafsiran mereka terhadap al Quran.
Yang kemudian menulis buku dan kitab dengan maksud merendahkan kitab Allah SWT.Para
misionaris dan orientalis yang culas juga banyak menyelipkan hal-hal yang
menyesatkan dalam penafsiran mereka terhadap Al Qur’an,dipecah belahkan oleh
kaum-kaum yang mau menghancurkan islam.
Dalam makalah ini kami akan membahas hal-hal yang
merupakan tindakan penodaan terhadap tafsir al Quran, dengan cara menyimpang
dari kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan oleh Ulama’ Mufassirin.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian penyimpangan dalam
Tafsir?
2.
Apa sebab-sebab yang menimbulkan
penyimpangan?
3.
Apa sajakah macam-macan dan
contohnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Perkembangan
tafsir Al-Qur’an dilakukan melalui dua periode yaitu periwayatan dan pembukuan.
Dalam perjalanannya tafsir bilma’tsur berakhir dengan dihapusnya isnad-isnad,
dan orang mengutipnya dengan menghilangkan sanad-sanad tersebut. selain itu
juga tafsir al aqli atau rasional berakhir karena di dominasinya oleh
kecenderungan-kecenderungan orang dan madhab teologi dan madzhab-madzhab lain.
Dengan demikian tidak dipungkiri lagi bahwa dengan dihilangkannya isnad-isnad
dalam tafsir bilma'tsur dan pengutipan tanpa disebutkan sanad-sanadnya itu
memberikan peluang kepada orang untuk berbuat kejahatan, dalam hal ini
menyelewengkan apa-apa yang seharusnya tidak terjadi dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Karena ada kemungkinan terjadi manipulasi legenda israiliyat atau cerita
cerita masyarakat bani israil yang banyak tidak masuk akal sehingga difonis
bahwa cerita tersebut bersumber dari Nabi Muhammad, padahal ini terjadi sekedar
untuk menonjolkan ambisi individual atau madzhab dan untuk menyembunyikan
kerencuan pemikiran mereka. Tanpa adanya pengujian terhadapa kebenaran tafsir
tersebut, pada akhirnya banyak kaum muslimin yang keracunan cerita-cerita
israiliyat yang seharusnya tidak terjadi dalam menafsirkan Al-Quran. Itu
merupakan sebagian cara atau usaha untuk memalingkan maksud al Quran dari tujuan
asalnya, dan masih banyak cara yang masih akan dibahas selanjutnya.
a.
Sebab-Sebab
Terjadi Penyimpangan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Banyak faktor yang menyebabkan mereka berani untuk melakukan penyelewengan
terhadap tafsir Al-Qur’an diantaranya:
1.
Kecenderungan mufassir terhadap
makna yang diyakini tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam
lafadz-lafadz Al-Qur’an tersebut.
2.
Banyak faktor yang menyebabkan
mereka berani untuk melakukan penyelewengan terhadap siyak (konteks) kalimatnya.
3.
Adanya dorongan dari madzhab atau
aliran dengan bermaksud untuk menyembunyian menyembunyikan kerancuan pemikiran
mereka dan menonjolkan pemikiran aliran atau madzahbnya sendiri.
b.
Macam-Macam
dan Contoh Penyimpangan dalam
Menafsirkan Al-Qur’an
Banyak macam dan contoh penyimpangan menafsirkan Al-Qur’an diantaranya:
a. Penyimpangan Tafsir Oleh para Sejarawan
Sikap
selektif yang di lakukan para sejarawan tidak selalu dapat di pertahankan
secara terus menerus. Pada masa tabi'in, banyak kisah israiliyat yang
diselundupkan ke dalam tafsir al Quran. Hal ini disebabkan oleh banyaknya ahli
kitab yang masuk islam dan adanya keinginan dari kalangan ummat islam pada
waktu itu untuk mengetahui kisah kisah selengkapnya mengenai ummat yahudi,
nasrani, dan sebagainya yang dalam al Quran hanya di sebutkan secara garis
besarnya saja. Oleh karena itu banyak kelompok mufassirin yang ingin mengisi
kekosongan dalam hal ini yang menurut mereka dengan memasukkan kisah-kisah yang
bersumber dari orang yahudi dan nasrani itu, sehingga karennya tafsir tersebut
penuh dengan kisah dan bahkan mendekati pada tahayyul dan khurafat.
Mufassir
yang dikenal besar perhatiannya dalam hal ini diantaranya Abu Ishak Ahmad bin
Muhammad bin Ibrahim Ats Tsa'labi. la adalah seorang yang biasa berpidato
memberi nasihat kepada masyarakat atau sering disebut da'i, seorang dai
biasanya sangat mementingkan cerita sebagai isi dakwah. Hal ini dapat kita
lihat didalam kitab yang ditulinya berjudul Al-Arais yang berisi tentang kisah
kisah para nabi pada umumnya ditulis panjang-panjang sehingga pambaca menjadi
bosan.
Contoh yang
dikemukakan dalam bukunya Ats-tsa'labi adalah kisah Ashabul Kahfi. Dalam kisah
tersebut di sebutkan nama-nama Ashabul Kahfi dan nama anjing mereka, berikut
dialog yang terjadi antara Ashabul Kahfi dan anjing yang terus membuntuti
mereka. Yang paling mengherankan dalam kisah ini adalah adanya keterangan bahwa
Nabi Muhammad memohon kepada Allah agar dipertemukan dengan mereka di dunia,
tetapi kemudian Allah memberikan jawaban bahwa Muhammad tidak akan
dipertemukannya di dunia, dan beliau di suruh agar mengutus empat sahabat
pilihannya untuk menyampaikan risalah beliau kepada mereka.
Dalam kisah
ini kemungkinan adanya manipulasi dan keterangan yang meragukan. Dr. Muhammad
Husain Adz-Dzahbi berpendapat bahwa dalam kisah itu terdapat bagian yang
menunjukkan adanya manipulasi dan pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Muhammad adalah bukan orang yang suka berbuat iseng meminta kepada tuhan agar
dipertemukan dengan pemuda-pemuda Ashabul Kahfi, seandainya kisah tersebut
betul, mengapa ada permintaan Nabi Muhammad yang tidak di kabulkan dan bahkan
ditugaskan kepada empat orang sahabat untuk menemui mereka dengan mata kepala
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sudah hina dihadapan Allah
sehingga permintaannya tidak bisa dikabulkan, sementara sahabatnya memperoleh
apa yang menjadi permintaanya.
b. Penyimpangan oleh Para Ahli Tata Bahasa Arab
Di antara mufassir yang melakukan
penyimpangan seperti ini adalah Azzamakhsyari dengan kitab tafsirnya
Almuharrarul Wajizfi Tafsiri Kitabil Aziz.
Yang paling menonjol dalam kitab tersebut adalah penafsiran terhadap firman
Allah SWT surat Al-An’am ayat 137 yaitu:
وَكَذَلِكَ زَيَّنَ
لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَتْلَ أَوْلادِهِمْ شُرَكَاؤُهُمْ
“Dan demikianlah
pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang
musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka”.
Ayat ini
ditafsirkan menurut qiraat Hafs, fiilnya dibaca zayyana dalam bentuk
aktif atau mabni lil ma'lum dan failnya syurakaauhum. Sedangkan menurut
quraat lain fiilnya di baca zuyyina dalam bentuk pasif atau mabni lil
majhul, dan objeknya adalah kata qatla yang digabungkan dengan lafadz auladihim,
sedangkan kata syurakauhum dikaitkan dengan sebuah kata kerja yang
tersembunyi yaitu zayyana. Jadi seakan akan ada pertanyaan, “siapakah
yang menyebabkan mereka mengangap baik? Kemudian dijawab yang menyebabkan
adalah pemimpin mereka. Begitu juga kita jumpai Ibnul Munir as-Sukandari dalam
bukunya Al-Intishab yang dicetak bersamaan dengan Al-Kasysyaf
mengomenteri ucapan Az-Zamakhsyari dengan menyatakan: "Pengarang dalam bab ini seperti
orang buta dan kebingungan. Saya merasa bertanggung jawab dihadapan Allah untuk
membebaskan para pembaca kitab suci dan pemelihara firman-Nya dari tuduhan ini.
Az-Zamakhsyari berkhayal bahwa cara imam qiraat tujuh itu masing-masing memilih
satu bacaan menurut ijtihad mereka tanpa dasar riwayat ataupun tuntunan (dari
Nabi). Oleh karena itu dia menyalahkan Ibnu Amir dengan bacaannya ini".
Lebih lanjut Ibnul Munir mengutip kata-kata Az 'amakhsyari yang menyalahkan
Ibnu 'Amir itu kemudian mengomentarinya sebagai berikut: "Ini seperti anda
ketahui adalah dugaan Az-Zamakhsyari bahwa Ibnu 'Amir membaca qiraatnya ini
berdasarkan pendapatnya sendiri semata, pada-hal yang benar tidak demikian.Az-Zamakhsyari
tidak mengetahui bahwa dalam bacaan ini kata aulad dinashabkan (dibaca aulada),
dan kata inilah yang memisahkan antara mudhaf (yaitu qatlu) dan mudhaf ilaihnya
(yaitu syuraka-ihim). Dan bacaan ini, jelas bersumber dari Rasulullah saw. yang
membacanya demikian di hadapan Jibril sarna seperti pada saat ayat itu
diturunkan. Ketika itu Rasulullah membacakannya kepada sejumlah orang yang
mencapai persyaratan tawatur, dan kemudian orang-orang ini meriwayatkan dan
membacakannya kembali kepada orang-orang lain sesudahnya sampai kepada Ibnu
'Amir. Dan Ibnu 'Amir membacanya persis seperti apa yang didengarnya. Ini
adalah keyakinan para ahli yang benar-benar mengetahui tentang tujuh macam
bacaan (qiraat) yang diwariskan secara mutawatir dari Rosulullah SAW.
"Baca Pula :Tafsir Surat Al-Falaq"
Penyimpangan Tafsir oleh Orang yang Tidak Menguasai Kaidah Tata Bahasa Arab
Para Ulama’ Mufassirin mencantumkan kriteria ahli tafsir diantaranya adalah
memiliki keahlian tata bahasa arab. Seorang yang tidak mengetahui tata
kaidah bahasa arab akan cenderung melakukan penyelewengan terhadap menafsirkan
al Quran, dan ada kecenderungan menafsirkan berdasarkan keinginannya sendiri.
Sebagai contoh sebuah ayat yang ditafsirkan oleh sekelompok kaum Mu'tazilah
dalam menafsirkan Surat al Baqarah : 255.
وَسِعَ كُرْسُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ
Artinya: “ Ilmu Allah meliputi langit dan bumi”. Ayat tersebut dikaitkan
dengan sya’ir yang tidak terkenal مخلق اللهعلمولا
يكرسئ“Tidak
ada satu makhlukpun yang mengetahui ilmu Allah” Ibnu Qutaibah
menyatakan bahwa ayat tersebut di tafsirkan oleh sekelompok kaum Mu'tazilah
seakan akan bermakna مخلقاللهعلميعلمولا“Mahluk tidak mengetahui ilmu Allah”. Padahal dalam kata Kursy
tidak ada hamzahnya sedangkan dalam kata Yukrisyu’u terda[at hamzah. Dia
menjelaskan bahwa yang mendorong orang mu’tazilah menggunakan pemahaman seperti
itu dengan meninggalkan makna yang sebenarnya adalah karena mereka tidak yakin
bahwa Allah itu mempunyai kursi atau sinngga sana, dan menurut mereka ‘arsy
mempunyai pengertian yang berbeda.
a.
Penyimpangna
tafsir oleh kaum teolog
Munculnya
berbagai madzhab keagamaan, sangat mempengaruhi tafsir al-Quran. Hal itu
terjadi di karenakan al-quran merupakan acuan pertama bagi kaum muslimin
pendukung madzhab-madzhab tersebut. mereka berusaha mencari dalil untuk
mendukung madzahabnya masing-masing, meskipun dengan cara mencocokkan teks atau
nash al Quran dengan pandangan madzhabnya itu. Mereka menafsirkannya sesuai
dengan jalan pikiran dan keinginannya, serta mena'wilkan ayat yang berbeda
dengan pendapat madzhabnya sehingga tidak tampak berlawanan dan bertentangan
dengan madzhab serta kepercayaannya.
Ada beberapa aliran kaum teolog islam diantanya Mu'tazilah, Khawarij, Syiah, Murjiah, Asyariah, dan lain sebagainya. Kesemuanya kebanyakan dalam menafsirkan al-quran berdasarkan jalan pemikirannya yang kadang menyeleweng dari makna yang sebenernya. Selain itu juga bisa masuk kekelompok kaum teolog adalah kalangan sufi, khususnya ahli sufi terdahulu yang selalu bercampur baur dengan kalangan filosof, yang pada akhirnya banyak menaruh perhatian terhadap pemikiran-pemikiran filosofis, sebagai contoh bisa di kemukakan bahwa Ibn Al-ArabimAbu yazid al Bustami, al Hallaj berani mengatakan “aku adalah allah” dan juga Ibn Al- Arabi mengatakan bahwa anak sapi yang di sembah bani israil adalah manifestasi dari Allah. Ibnu Al-Arabi dalam kitabnya Futhatul makiyah menafsirkan surat al-isra : ayat 23
Ada beberapa aliran kaum teolog islam diantanya Mu'tazilah, Khawarij, Syiah, Murjiah, Asyariah, dan lain sebagainya. Kesemuanya kebanyakan dalam menafsirkan al-quran berdasarkan jalan pemikirannya yang kadang menyeleweng dari makna yang sebenernya. Selain itu juga bisa masuk kekelompok kaum teolog adalah kalangan sufi, khususnya ahli sufi terdahulu yang selalu bercampur baur dengan kalangan filosof, yang pada akhirnya banyak menaruh perhatian terhadap pemikiran-pemikiran filosofis, sebagai contoh bisa di kemukakan bahwa Ibn Al-ArabimAbu yazid al Bustami, al Hallaj berani mengatakan “aku adalah allah” dan juga Ibn Al- Arabi mengatakan bahwa anak sapi yang di sembah bani israil adalah manifestasi dari Allah. Ibnu Al-Arabi dalam kitabnya Futhatul makiyah menafsirkan surat al-isra : ayat 23
Yang artinya : “dan tuhanmu adalah tuhan yang esa”
Ibn al arabi mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah
berbicara dengan kaum muslimin tentang orang-orang yang menyembah benda-benda
selain allah dalam rangka mendekatkan diri kepada allah, sebenarnya sama dengan
menyembah Allah juga. Selanjutnya al-Arabi juga menjelaskan bahwa “ ingatlah
ketika mereka mengatakan : sebenarnya kami menyembah benda-benda ini hanya
untuk mendekatkan diri kepada allah”, sambil mengemukakan alasan mereka.
Kemudian Allah pun berfirman kepada kita bahwa sesungguhnya sesungguhnya tuhanmu
dan tuhan yang di sembah oleh orang-orang musrik dengan perantara benda-benda
sesembahan dalam rangka mendekatjkan diri kepada Allah, adalah sama; karna itu
sebenarnya kamu semua tidak berbeda dalam pengakuanmu terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
b.
penyimpangan tafsir oleh para ilmuan
Di antara para ulam di zaman dahulu
maupun di zaman sekarang ada yang berpendapat bahwa di samping ilmu agama
Al-quran juga berisi keterangan-keterangan tentang ilmu-ilmu duniawi dengan
segala macam jenis dan coraknya. Sebagai akibatnya mereka mencoba untuk mencari
istilah-istilah keilmuan dari dalampernyataan-pernyataan Al-Quran, berusaha
mengungkapkan semua ilmu kea alam sehingga menyatakan bahwa semua ilmu yang
kita dapatisekarang hingga hari kiamat sudah ada dalam al-Quran tergantung kita
dapat menggalinya atau tidak.
Contohnya: dalam hal ini adalah
sebagai mana yang di ungkapkan oleh As-suyutidaribeberapa ulama yang menyatakan
bahwa umur Nabi Muhammad adalah 63 tahun tersebut bisa di ketahui dalam surat
Al-munafiqun ayat 11, yang artinya :
“Dan allah sekali-kali tidak akan
menangguhkan kematian seseorang jika telah datang saatnya”
Surat Al-Muafikun ini kemudian diikuti oleh surat at-taghabun
yang secara harfiah berarti saling menipu mengenai berita wafatnya Nabi masih
banyak contoh lain yang mengungkapkan adanya relefensi Al-Quran dengan ilmu
pengetahuan meskipun banyak yang menyelewengkan dalam penapsirannya Al-quran
akan terus sejalan dengan teori dan kaidah-kaidah keilmuan selama teori-teori
dan kaidah-kaidah tersebut dilandasi oleh prinsip kebenaran dan bersumber pada
realitas yang benar pula.
c.
Penyimpangan
tafsir oleh kaum pembaharu islam
Bila kita
meneliti pendapat-pendapat dari kelompok mufassir al Quran, kita dapat
menemukan banyak contoh yang menunjukkan bahwa penafsiran mereka menyimpang dan
keliru. Di antara mereka ada yang karena keinginannya untuk melakukan
pembaharuan lantas melakukan penyimpangan-penyimpangan dengan mengikuti
pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum dan hukuman dalam
syariat Islam telah ketinggalan zaman. Karena itu mereka mena'wilkan ayat-ayat
mengenai hukuman (hudud) secara tidak benar. Mereka memahami fiil amar dalam
ayat-ayat yang berkaitan dengannya sebagai kebolehan yang pelaksanaannya di
serahkan kepada pemerintah, jika ia mau melaksanakannya dan jika tidak maka
tidak apa-apa. Pendapat ini dapat di baca dalam artikel yang berjudul Hukum
Mesir dan Hubungannya dengan Hukum Islam . Dia mengatakan bahwa "ayat-ayat
yang tertulis dalam hukum hudud, diantaranya dalam surah Al Maidah: 38-39, juga
surah An Nur: 2, adalah fiil amar yang perlu dipermasalahkan dan dibahas secara
tenang. Dalam ayat ini saya telah menemukan cara baru untuk menghilangkan
hambatan yang ada demi terlaksananya hukum islam yang bersumber pada ayat
tersebut. Penulis artikel tersebut menyimpulakan bahwa hukum potong tangan
bukanlah hukuman wajib yang tidak boleh di ganti dengan hukuman keras lainya
pada kondisi tertentu kedudukanya tidak berbeda dengan sesuatu yang mudah, yang
tunduk kepada kebijakan pemerintah dan dapat juga berfariasi karena kondisi,
waktu dan tempat. Dia mena’wilkan ayat tentang tindak pidana pencurian dan
perzinahan dengan cara yang tidak dapat diterima dan membuat keliru dalam
memahami kata kerja dan perintah di dalamnya. Perubahan makna dari wajib
menjadi boleh ada ayat tersebut sungguh tidak masuk akal, karena kewajiban
potong tangan bagi pencuri adalahperintah yangharus dilakukan.
No comments:
Post a Comment